Gelombang penolakan RUU Cipta Kerja masih terus terjadi di beberapa daerah di Indonesia, bahkan demo tersebut berujung pada tindakan anarkisme yang ditandai dengan perusakan fasilitas umum dan juga aksi vandalisme.Â
Unjuk rasa tersebut tidak hanya dilakukan oleh para buruh saja, tetapi dari berbagai kalangan, baik itu mahasiswa maupun para pelajar. Unjuk rasa tersebut tidak lain untuk menuntut keadilan dan hak-hak buruh yang dinilai telah dirampas oleh RUU Cipta Kerja tersebut.
Unjuk rasa merupakan salah satu perlawanan yang dilakukan oleh buruh, tetapi tetap saja dalam melakukan hal tersebut harus sesuai dengan norma yang berlaku dan mencerminkan etika kita sebagai orang timur yang berbudi luhur. Selain unjuk rasa, perlawanan juga dilakukan dengan cara mogok masal yang dilakukan pada tanggal 6 Oktober sampai 8 Oktober 2020. Â Bahkan media luar pun menyoroti aksi unjuk rasa yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia tersebut.
Tuntutan para buruh tidak berubah, yaitu menolak RUU Cipta Kerja, undang-undang sapu jagad tersebut dinilai oleh para buruh telah merugikan mereka dan merampas sebagian hak mereka yang sudah dijamin dalam undang-undang tenaga kerja.Â
Tetapi, kembali lagi pada konsep negara kita, suatu undang-undang tidak dapat diubah atau dicabut tanpa mekanisme hukum yang berlaku, unjuk rasa merupakan salah satu cara buruh untuk menyalurkan aspirasi dan semoga saja aspirasi terebut ditindaklanjuti dengan mekanisme perubahan undang-undang yang disediakan oleh peraturan yang berlaku.Â
Setidaknya untuk mengubah itu semua ada dua acara, yaitu melalui mekanisme penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) dan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Presiden sebagai kepala negara dan kepada pemerintahan mempunyai wewenang untuk menerbitkan Perppu. Perppu tersebut sepenuhnya menjadi hak istimewa presiden, hal ini telah diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan dalam hal ihwal kegentingan memaksa Presiden dapat mengeluarkan Perppu.
Perppu juga seringkali menjadi alat yang membuat presiden memiliki potensi sikap otoriter, Perppu merupakan alat yang sangat kuat bagi Presiden menuangkan kehendaknya secara serta merta tanpa persetujuan DPR.Â
Perpuu seolah menjadi jalan pintas bagi Presiden untuk melewati mekanisme musyawarah di DPR. Oleh sebab itu, maka konstitusi kita membatasi hal itu dengan syarat "kegentingan memaksa".Â
Adanya syarat tersebut membuat Perppu tidak bisa dikeluarkan begitu saja, artinya dalam mengeluarkan Perppu haruslah terpenuhi dulu unsur kegentingan memaksa tadi, meskipun tafsir dari kegentingan memaksa tersebut merupakan subjektif Presiden.
Namun Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 138/PUU-VII/2009 memberikan tafsir kegentingan memaska tersebut. Mahkamah Konstitusi menetapkan tafsir kegentingan memaksa tersebut ke dalam tiga kategori, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai. Dari ketiga kategori terebut jelaslah kategori ketiga yang paling rasional.
RUU CIpta Kerja merupakan aturan yang dinilai kurang memadai untuk mengakomodir beberapa permasalah seperti ketenagakerjaan ataupun masalah lingkungan dan perizinan. Tetapi rasionalkah Presiden mengeluarkan Perppu tersebut?
Jika kita kembali ke belakang pada saat pertama kali Presiden Joko Widodo dilantik, Pak Presiden menjelaskan bahwa susahnya investor untuk datang ke Indonesia adalah terkendala masalah perizinan yang berbelit-belit dan rumit, untuk itu perlu adanya penyederhadaan perizinan, sehingga proses perizinan tersebut tidak memakan waktu yang lama dan birokrasi pun bisa dipangkas, maka jalan yang dipakai adalah dengan menciptakan harmonisasi hukum, maka terciptalah RUU Cipta Kerja ini. dengan adanya RUU ini diharapkan investor bisa berdatangan dan lapangan pekerjaan terbuka lebar.
Itu artinya pembentukan Perppu merupakan jalan yang irasional, mengingat RUU Cipta Kerja ini merupakan inisiatif dari pemerintah sendiri, akan sangat mengeherankan jika pemerintah mengeluarkan Perppu untuk undang-undang atas inisiatifnya sendiri. Dan pemerinah sudah jelas menyatakan RUU Cipta Kerja ini bisa mendatangkan investor dan lapangan kerja baru, untuk itu meminta Presiden mengeluarkan Perppu adalah hal yang paling irasional.
Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi
Upaya hukum yang bisa dilakukan oleh buruh mapun pihak yang merasa dirugikan dengan terbitnya RUU Cipta Kerja ini bisa dilakukan dengan mekanisme uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk menilai apakah suatu undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 atau tidak.Â
Jika Mahkamah Konstitusi menilai undang-undang tersebut bertentangan maka akan ditindak lanjuti oleh DPR sebagai lembaga legislatif, meskipun pada praktinya banyak putusan Mahkamah Konstitusi yang masih mengambang, tetapi upaya ini bisa dicoba.
Apalagi para buruh maupun aktivis lingkungan dan pihak lain mempunyai kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak yang dirugikan dengan berlakunya RUU Cipta Kerja ini. Maka pilihan judicial review merupakan hal yang paling rasional.Â
Meskipun tidak ada yang tahu hasilnya akan seperti apa, tetapi upaya ini perlu dicoba, meskipun komposisi dari hakim sendiri terdiri dari tiga hakim dari Komisis Yudisial, tiga hakim dari DPR dan tiga hakim dari Pemerintah.Â
Jika kita melihat komposisi tersebut, rasanya sulit untuk menang, tetapi kita semua berharap para hakim tersebut bertindak sebagaimana mesetinya, karena Mahkamah Konstisui merupakan lembaga Kekuasaan Kehakiman.
Sejatinya lembaga tersebut merupakan lembaga yang bersifat merdeka dan tidak boleh ada intervensi dari pihak manapun, itulah mengapa lembaga ini dipisahkan dari legislatif dan eksekutif, tujuannya agar tercipta peradilan yang netral dan menciptakan rasa keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, dan semoga saja Mahkamah Konstitusi amanah tidak lupa dengan marwah Mahkamah Kosntitusi sebagai pengawal Konstitusi.Â
Meskipun langkah ini hanya menganulir beberapa pasal saja, tetapi langkah ini lebih rasional daripada meminta pemerintah untuk menerbitkan perppu, meskipun kecil peluang tetapi kita telah melawan dengan sebaik-baiknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H