Adanya syarat tersebut membuat Perppu tidak bisa dikeluarkan begitu saja, artinya dalam mengeluarkan Perppu haruslah terpenuhi dulu unsur kegentingan memaksa tadi, meskipun tafsir dari kegentingan memaksa tersebut merupakan subjektif Presiden.
Namun Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 138/PUU-VII/2009 memberikan tafsir kegentingan memaska tersebut. Mahkamah Konstitusi menetapkan tafsir kegentingan memaksa tersebut ke dalam tiga kategori, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai. Dari ketiga kategori terebut jelaslah kategori ketiga yang paling rasional.
RUU CIpta Kerja merupakan aturan yang dinilai kurang memadai untuk mengakomodir beberapa permasalah seperti ketenagakerjaan ataupun masalah lingkungan dan perizinan. Tetapi rasionalkah Presiden mengeluarkan Perppu tersebut?
Jika kita kembali ke belakang pada saat pertama kali Presiden Joko Widodo dilantik, Pak Presiden menjelaskan bahwa susahnya investor untuk datang ke Indonesia adalah terkendala masalah perizinan yang berbelit-belit dan rumit, untuk itu perlu adanya penyederhadaan perizinan, sehingga proses perizinan tersebut tidak memakan waktu yang lama dan birokrasi pun bisa dipangkas, maka jalan yang dipakai adalah dengan menciptakan harmonisasi hukum, maka terciptalah RUU Cipta Kerja ini. dengan adanya RUU ini diharapkan investor bisa berdatangan dan lapangan pekerjaan terbuka lebar.
Itu artinya pembentukan Perppu merupakan jalan yang irasional, mengingat RUU Cipta Kerja ini merupakan inisiatif dari pemerintah sendiri, akan sangat mengeherankan jika pemerintah mengeluarkan Perppu untuk undang-undang atas inisiatifnya sendiri. Dan pemerinah sudah jelas menyatakan RUU Cipta Kerja ini bisa mendatangkan investor dan lapangan kerja baru, untuk itu meminta Presiden mengeluarkan Perppu adalah hal yang paling irasional.
Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi
Upaya hukum yang bisa dilakukan oleh buruh mapun pihak yang merasa dirugikan dengan terbitnya RUU Cipta Kerja ini bisa dilakukan dengan mekanisme uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk menilai apakah suatu undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 atau tidak.Â
Jika Mahkamah Konstitusi menilai undang-undang tersebut bertentangan maka akan ditindak lanjuti oleh DPR sebagai lembaga legislatif, meskipun pada praktinya banyak putusan Mahkamah Konstitusi yang masih mengambang, tetapi upaya ini bisa dicoba.
Apalagi para buruh maupun aktivis lingkungan dan pihak lain mempunyai kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak yang dirugikan dengan berlakunya RUU Cipta Kerja ini. Maka pilihan judicial review merupakan hal yang paling rasional.Â
Meskipun tidak ada yang tahu hasilnya akan seperti apa, tetapi upaya ini perlu dicoba, meskipun komposisi dari hakim sendiri terdiri dari tiga hakim dari Komisis Yudisial, tiga hakim dari DPR dan tiga hakim dari Pemerintah.Â
Jika kita melihat komposisi tersebut, rasanya sulit untuk menang, tetapi kita semua berharap para hakim tersebut bertindak sebagaimana mesetinya, karena Mahkamah Konstisui merupakan lembaga Kekuasaan Kehakiman.