Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

RKUHP, Janin yang Tak Pernah Lahir

21 September 2019   05:44 Diperbarui: 21 September 2019   05:50 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia akhir-akhir ini telah dirundung beberapa masalah yang mendapat perhatian publik. Mulai dari permasalahan kebakaran hutan yang tak kunjung usai, sampai dengan permasalahan hukum. khususunya yang menjadi perhatian saat ini adalah Revisi UU KPK, UU Lapas dan RKHUP. Ketiga rancangan undang-undang tersebut menuai polemik dan kontoversi, meskipun dalam setiap kebijakan kontroversi tidak dapat dipisahkan.


RKHUP seperti yang sekarang kita lihat masih terdapat pasal-pasal yang kontoversi, dan irasional. Misalnya pasal yang mengatur tentang gelandangan yang didenda satu juta rupiah, tentunya ini menuai polemik, megapa harus didenda. 

Toh dalam UUD 1945 jelas dikatakan bahwa fakir miskin dipelihara oleh Negara. Jadi siapa yang harus didenda? Justru itu merupakan kegagalan dari Negara, yang gagal menyejahterakan rakyatnya.


Selain itu pasal yang menjadi sorotan lainnya adalah mengenai pasal penghinaan presiden, pasal ini dinilai bisa menjatuhkan lawan politik. Padahal dalam putusan MK pasal ini telah dicabut, sejatinya keudukan presiden dan rakyat sejajar dimata hukum, jika presiden merasa dihina atau namanya tercoreng maka lapor saja sebagai individu jangan menggunakan pasal lain yang memberatkan. 

Pasal ini pada zaman kolonilisme Belanda berlaku bagi setiap yang mnegkriktik pemerintah, namun perlu diketahui bentuk Negara dari Belanda adalah Kerajaan yang dimana sistem pemerintahannya dipimpin oleh perdana menteri, sehingga kedudukan ratu adalah sebagai simbol Negara. 

Tentunya jika diterpakan di Indonesia ini bertentangan, jelas baik bentuk dan sistem pemerintahan kita berbeda, dan yang menjadi simbol Negara adalah pancasila. 

Itulah sebabnya pasal ini perlu dihapuskan, karena akan menimbulkan stigma bahwa pemerintah anti ktitik. Padahal di zaman yang serba terbuka ini kritik sangatlah diperlukan, jika tidak ingin dikritik tak usahlah menjadi pejabat. Karena konsekuensinya adalah kritik, setiap kebijakan yang dikeluarkan pasti akan ada kritik dan kritik merupakan ciri dari pemerintahan yang demokratis.


Selain itu banyak pasal yang mengatur pidana khusus dimasukan ke dalam RKUHP sebut saja korupsi yang dimasukan ke dalam RKHUP. Selain dimasukkannya korupsi ke dalam RKHUP ancaman hukuman juga lebih ringan. Tentunya kita sepakat bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa, dan telah diatur dalam uu tersendiri. 

Ini artinya korupsi masuk ke dalam pidana khusus. Namun apa jadinya jika korupsi dimasukkan ke dalam RKUHP, tentunya korupsi akan menjadi tindak pidana umum biasa. 

Dan selain itu akan berdampak terhadap KPK selaku lembaga yang menangani korupsi. Tentunya akan terjadi tumpang tindih siapa yang akan menangani kasus korupsi apakah KPK atau kepolisian.


KUHP yang berlaku sekarang adalah KUHP peninggalan Belanda, peninggalan kolonialisme, Indonesia sudah merdeka 74 tahun lamanya. Tetapi produk hukum kita masih menggunakan produk zama kolonialisme. 

Sudah sepatutnya kita mempunyai KHUP sendiri. Buatan bangsa Indonesia sendiri. Sejatinya merdeka adalah bebas dari segala aspek termasuk hukum peninggalan zaman kolonialisme. Keinginan mengesahakan RKHUP patut diacungi jempol. 

Dengan adanya KUHP baru berarti kita telah merdeka dibidang hukum karena tidak menggunakan produk peninggalan kolnialisme.


Tetapi jangan sampai KUHP yang dirancang lebih kolonialisme dibandingkan dengan KUHP peninggalan Belanda. Jika dilihat dari substansinya, lebih kolonialisme, misalnya dengan meneghidupkan kembali pasal penghinaan presiden yang merupakan peningglan kolonilisme. 


RKUHP telah dirancang cukup lama, jika diibaratkan seperti janin yang tidak pernah lahir. Dan selama itu pula subtansi yang ada tidak diperhatikan. RKHUP yang ada sekarang masih perlu dikaji secara mendalam lagi, karena masih banyak pasal yang perlu dikoreksi lagi. Apa yang dilakukan oleh Presiden untuk menunda pengesahan RKUHP merupakan langkah yang tepat.


Sebuah prestasi jika bangsa Indonesia bisa merancang KUHP sendiri, namun sekali lagi, jika muatan KUHP lebih kolonialisme, maka akan melahirkan kolonilisme baru. 

Oleh sebab itu perlu dikaji lagi secara matang dan mendalam, dengan melibatkan ahli dan akademisi. Sehingga akan melahirkan sebuah undang-undang yang masyarakat akan merasa terlindungi oleh undang-undang tersebut bukan sebaliknya, merasa terancam dan menimbulkan ketidaknyaman di dalam masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun