"Itu anak-anak siapa? dia minta gak dilahirkan ke dunia? Kemudian apa yang kalian inginkan anak kalian dapatkan? Bisakah itu didapatkan dari pembantu/nanny/daycare?"
Kurang lebih seperti itu dan kemudian pertanyaan berlanjut, apakah uang yang kami berdua kumpulkan cukup memiliki arti dalam hidup anak kami nantinya? Dengan gilanya ritme kehidupan kerja di Jakarta yang mengharuskan kami berangkat dari rumah sesaat sebelum matahari terbit dan sampai di rumah  jauh setelah matahari terbenam, apakah waktu kami akan cukup untuk dapat mengkompensasi waktu yang sudah kami habiskan seharian di kantor untuk sekeping quality time bersama anak kami?
Kami merasa waktu setelah kembali dari kantor sepertinya kurang.
Solusinya apa? Jawabannya cukup jelas.
Salah satu dari kami sepertinya harus merelakan sekian juta rupiah per bulan untuk dapat mendampingi anak kami di rumah. Harus merelakan sekian juta dari dana yang bisa kami investasikan untuk dana pensiun dan dana pendidikannya karena bagaimanapun kami akan menginvestasikan waktu kami untuk harta kami yang paling berharga, anak kami.
Pertanyaan siapa yang harus berhenti bekerja selanjutnya adalah pertanyaan terbesar. Saya tahu mungkin banyak yang akan bilang istri sayalah yang seharusnya berhenti bekerja dan lain sebagainya, tapi kami memiliki gunung kami sendiri untuk kami daki. Jadi, sekarang kami hanya bisa berdoa yang terbaik dan semoga apapun yang kami putuskan nantinya semoga Allah memberikan jalan keputusan yang terbaik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H