Mohon tunggu...
dani manik
dani manik Mohon Tunggu... -

saya ada seorang mahasiswa Filsafat ingin menjadi seorang Kapusin sejati anak bungsu dari 5 bersaudara,

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Daun Gugur

23 Maret 2014   23:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:35 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DAUN GUGUR
Siang nan terik. Aku pun berdamai dengan rasa gerah yang kian menyiksaku. Aku hanya mampu menahan dan berusaha untuk menikmatinya. Walau kuakui amatlah berat dan penuh perjuangan. Bulir-bulir kegerahanku kian menyatu membanjiri sekujur tubuhku hingga membasahi pelupuk mataku yang menyipit oleh silaunya sang mentari. Syukur tak jauh dari tempatku berjuang melawan gerah kulihat sebatang pohon yang menjulang tinggi menawarkan kesegaran di bawah dedaunannya nan rindang. Tergiur olehnya, kedua kakiku melaju tak tertunda. Huh…terasa seperti di taman firdaus yang memberikan kebahgiaan hati. Kian sempurna oleh hembusan angin sepoi-sepoi yang menyejukkan. Hanya ada syukur dan senyum menemani hembusan nafasku yang kembali normal.
Di bawah rindangnya pohon yang menjulang mengejar langit biru, kujatuhkan diriku di atas rerumputan hijau yang terlihat jarang. Karena memang tak memperoleh cahaya yang cukup untuk mampu berjuang hidup. Aku pun seolah tak peduli akan hal itu. Yang ada hanyalah syukur atas jasa sang pohon yang membantuku melepaskan kegerahan yang sedari tadi menyiksaku. Tetapi dalam kehanyutan itu, aku pun terpana oleh sehelai daun yang jatuh perlahan tepat di atas kedua pahaku. Indah melihat geraknya yang seolah diatur slow motion. Dalam kekaguman aku pun larut dalam refleksi yang mendalam.
Hidup ini tidak ada yang abadi. Semua akan berlalu. Sekarang, besok, minggu depan, bulan depan, tahun depan, dan kapan pun itu pasti akan berlalu dan usai. Seolah jarum jamlah yang menjadi juri hidup ini. Dalam ketidakabadian itu akan tibanya saatnya semua berubah. Bergerak dari yang gagah perkasa menjadi loyo tak berdaya, rupawan menjadi keriput yang menjijikkan, berharga menjadi injakan orang, berkuasa menjadi bawahan, dan pergerakan lainnya. Pasti dan akan. Entahbagaimana pun ujungnya hanya satu yaitu kembali ke tanah. Dimakan oleh tanah. Sebagaimana sehelai daun yang ada di atas pahaku ini.
Sadar akan hal itu, aku pun masuk dalam penyesalan yang mendalam. Untuk apa aku tinggal pada rasa bangga atas apa yang kumiliki sekarang ini? Bukankah ini hanyalah sementara? Bukankah semua ini akan berlalu dan tak ada yang sisa di diriku? Pantaskah aku berbangga akan harta, jabatan, nama baik, dan apa saja kumiliki ini? Bukankah ini semua semu dan akan berlalu.
Syukur bahwa aku disadarkan sekarang. Masih ada kesempatan untuk berbenah. Merobah prinsip hidup yang selama ini mengarah ke kecongkakan hati. Toh semua akan berlalu tak bersisa sedikit. Kini hanya ada usaha, yaitu mendekatkan diri kepadaNya yang sesungguhnya adalah empunya segalanya. Cuma Dia yang harus ada dalam diriku bukan yang lain

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun