Mohon tunggu...
Danil Folandra
Danil Folandra Mohon Tunggu... Lainnya - Researcher

Aku menulis maka aku ada

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menjadi Mahasiswa, Berorganisasi atau Tidak?

5 Agustus 2024   23:45 Diperbarui: 8 Agustus 2024   12:51 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Mahasiswa | FREEPIK/LIFESTYLE MEMORY

Organisasi: Jalan Menuju Kesuksesan

Menjadi mahasiswa akademis pada dasarnya merupakan suatu keniscayaan, sebab tidaklah dikatakan mahasiswa jika tidak unggul dalam intelektual akademis, namun belum paripurna seorang mahasiswa jika tidak mengasah kecerdasan emotional dan kecerdasan spiritual. Kecerdasan intelektual hanya membentuk kepintaran individu tidak dengan kemampuan dalam interaksi sosial yang dikenal dengan kecerdasan emosional dan spiritual. 

Tentu dua aspek ini hanya didapatkan dengan berorganisasi. Ini tidak hanya mendukung terhadap kualitas seorang mahasiswa tapi juga akan berdampak terhadap kesuksesan/dunia kerja. 

Goleman menyebut kecerdasan intelektual hanya 10-20% dalam menyumbangkan kesuksesan, selebihnya 80-90% disumbangkan oleh aspek kecerdasan spiritual dan emosional (Goleman, 2000).

Kendati secara teori menyebutkan demikian pada realitasnya dibantah dengan kondisi organisasi yang bertolak belakang dengan apa yang telah diteorikan, dan fenomena sebagian besar mahasiswa saat ini ialah tidak mendapatkan apa yang diinginkan melalui wadah organisasi tersebut. Ini menjadi persoalan utama di kalangan mahasiswa pasca berorganisasi. 

Banyak dari mereka tidak mendapatkan proses yang baik dikarenakan persoalan degradasi internal organisasi sendiri. Selain itu tidak sedikit juga dari mahasiswa mengungkapkan penyesalan berorganisasi.

Satu sisi pola pikir yang seperti ini tidak sepenuhnya disalahkan. Oleh sebab itu harus ada penggerak yang mengubah pola pikir tersebut. Jika ini berlanjut tentu akan menciptakan sikap pesimis anggota bahkan tidak menutup kemungkinan organisasi tidak lagi diminati mahasiswa.

Bertolak dari persoalan di atas, penulis mencoba memberi analogi bahwa jika persoalan degradasi di tubuh organisasi menjadi alasan menyesal memilih organisasi tersebut. 

Lantas bagaimana dengan para pendiri yang kegelisahannya lebih besar melampaui hanya sebatas persoalan internal organisasi. 

Atau mengapa tidak keluar dari Islam (menyesal memilih Islam) ketika melihat masifnya gerakan fundamentalisme, radikalisme, bahkan ekstrimisme dalam tubuh Islam. Ini bukan soal anggapan telah salah dalam memilih organisasi tapi kesalahan terbesar itu ketika telah memilih namun tidak bertindak.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun