Sebelum menjelaskan masalah kemajemukan, pertama penulis ingin meceritakan selintas ritme kehidupan umum yang dialami manusia. Sejak kecil sebenarnya kita telah dipertemukan dengan sesuatu yang berbeda dengan diri kita baik dari segi fisik maupun tingkah laku. Pada masa kanak-kanak misalnya kita selalu berinteraksi dengan adik atau kakak yang tidak dapat dipungkiri seringnya terjadi pertikaian keinginan yang akhirnya menimbulkan perkelahian.
Seiring berjalannya waktu kita dihadapkan kembali dengan lingkungan baru yang lingkupnya lebih luas yakni pada masa sekolah. Pada dasarnya SD, SMP hingga SMA merupakan perjalanan kehidupan kemajemukan yang mungkin tidak kita sadari. Apalagi ditambah dengan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi yang lingkup majemuknya pada wilayah agama, bahasa, suku dan lainnya.
Perjalanan kehidupan ini mengajarkan bahwasanya kita memiliki sikap natural untuk beradaptasi serta memahami dengan suatu yang berbeda dari kita, di samping kita juga satu titik persamaan yang menyatukan. Artinya sikap natural terhadap kemajemukan pada diri kita tergantung seberapa jauh pengalaman, pengetahuan sesuatu yang berbeda dari kelompok kita.
Jika pengalaman dan pengetahuan itu pada fase kanak-kanak yang hanya mengetahui perbedaan dari segi fisik dan keinginan saja. Maka tunggu saja penolakan yang cukup besar terhadap adanya sesuatu yang tidak diketahui. Â Â Â
Majemuk Adalah Keniscayaan
Realitasnya memanglah seperti itu, di dunia ini bukan hanya satu etnis saja. Terdapat ribuan bahkan jutaan perbedaan baik dari segi bahasa budaya suku maupun agama. Termasuk Indonesia sendiri, tiap provinsi memiliki kulturnya sendiri. Kita memiliki jargon yang bagi kita semestinya adalah pendorong semangat bersatu dalam kemajemukan yakni "Bhinneka Tunggal Ika". Seperti yang pernah dinyatakan oleh Anies Baswedan misalnya perbedaan adalah hakikat manusia itu sendiri. Maka ikhtiarnya ialah menyatukan perbedaan itu. Dari pernyataan tersebut seyogyanya yang difokuskan ialah bersatunya bukan membahas mengapa ada perbedaan.
Pada saat ini Indonesia sedang diuji dengan keragamannya. Dapat kita lihat dan dengar begitu banyak terjadi kasus yang mengatasnamakan isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Penulis sendiri melihat dari berbagai kasus yang terjadi belakang ini adalah sebagai proses pendewasaan masyarakat Indonesia. Dimana perjalanan pengetahuan dan pengalamannya masih pada fase sekolah, seperti yang penulis ceritakan di atas.
Sebenarnya konflik bukanlah hal yang tabu. Konflik adalah ujian dari kemajemukan, sama halnya dengan pencapaian kesuksesan seseorang, resikonya ialah lelah, putus asa, namun jika dilewati akan menjadi pelerai demam. Begitu pula dengan konflik, konflik tidak dapat dihindari tetapi dilewati, konflik tak dapat dihilangkan tapi dikendalikan.
Isu SARA sangat menjadi sensitif di bangsa ini. Ketika ada etnis lain yang masuk pada wilayahnya maka cenderung disuguhi perilaku yang tidak meng-enakkan. Hal ini memperlihatkan bahwa masyarakat masih banyak yang belum dewasa terhadap perbedaan. Di atas penulis menyatakan perkembangan pemikiran manusia terhadap lingkungannya. Pada fase anak-anak misalnya di mana sering mengejek temannya. Tetapi, berjalannya waktu setelah dewasa terdapat sikap natural pemahaman terhadap suatu yang berbeda. Dapat kita lihat bahwa Indonesia masih pada fase anak-anak dalam konsep pemahaman keragaman.
Belajar Konsep Keberagaman dari Keluarga
Dari permasalahan keragaman dan konflik yang harus dipahami ialah bagaimana masyarakat mendapatkan titik temu yang menjadi pemersatu dari ribuan perbedaan. Dalam lingkup kecil terdapat beberapa kabupaten yang memiliki perbedaan kebudayaan. Dari sisi lain perbedaan tersebut dapat menyatukan bahwasanya kita adalah bagian dan berada pada provinsi yang sama.