Kali ini gue mau cerita tentang pacaran. Yah, inilah gue. Gue mulai banyak menelaah dan memahami maksud dari pacaran itu sendiri. Maklum, gue punya murid-murid yang sedang dalam masa labil dan kebanyakan mendengarkan curhat mereka tentang pacaran atau sekedar menyukai lawan jenis. Gue pikir ini adalah masa yang telat buat gue untuk memahami maksud dari pacaran itu sendiri. Gue juga bingung, pas umur gue 17 tahun, gue ke mana aja?!
Namun, kali ini gue nggak mau bahas pacaran yang terlalu serius. Gue mau bahas pacarannya anak SD. Anak SD yang gue cap sebagai anak ingusan. Gue cerita di artikel ini karena gue terinspirasi sama mantan murid di les-lesan gue. Sebut saja, Lukas. Jujur, gue nggak ada niat mau jelek-jelekin murid gue. Gue hanya pengen sharing betapa lucunya apa yang di otaknya dia.
Lukas. Nama aslinya Lukas Arta Grasia. Dia masih kelas 2 SD. Gue nggak tahu pasti berapa umurnya, tapi untuk kelas 2 SD pasti sudah tergolong masih anak-anak banget. Kalau main juga pasti sebangsa dan sepenanggungan sama anak TK. Diantara semua murid yang pernah gue hadapi, asli gue jatuh cinta sama anak yang satu ini. Kejujurannya dan kepolosannya mampu membuat gue ngebongkar masa lalu gue. Dia sudah nganggap gue kayak teman curhat. Dia curhat kalau dia merokok, dia menyebutkan merek-merek rokok yang sudah dia jabanin, daan dia menyebutkan tempat-tempat dia merokok secara gamblang. Karena kejujurannya, gue sebagai calon guru nggak bisa ngelarang. Gue nggak akan bilang alasan nya gue nggak ngelarang dia merokok tapi gue punya persepsi sendiri yang nggak perlu kalian tahu mengapa gue seperti itu. Dia juga curhat mengenai masalah percintaannya dengan cewek yang namanya Santi.
Gue lupa bagaimana awal dia membuka obrolan tentang pacaran. “Kamu sudah punya pacar, Kas?” tanya gue nggak percaya. “Duwe” jawabnya sambil mengeluarkan buku-bukunya dari dalam tas. “Berapa?” tanyaku lagi. “Yo, sijilah. Jenenge Santi” jawabnya polos. Gue yang berasa budek cuma bisa berteriak dalam hati, gue jaman SD aja udah nggak ada yang mau. Gue pun langsung mikir yang aneh-aneh, caranya dia nembak gimana ya, caranya pacaran yang baik ala dia itu kayak gimana, dan bla bla bla. Gue harus belajar banyak dari dia. Siapa tahu pengalaman pacarannya dia bisa menjadi rumus buat gue punya saat pacar nanti.
“Aku suka sama Santi. Aku wis nembak cah’e. Cah’e arek Sobo, mbak” katanya. “Carane piye lhakmu nembak?” tanyaku tambah penasaran. “Yo, aku nyuwek kertas. Terus tak tulisi, aku I love you kamu. Kertas’e tak untel-untel, tak uncalne cah’e” jawabnya sambil menyeka keringatnya. “Lha terus balesane piye?” tanyaku lagi. “Aku juga!” sahutnya. Aku yang mendengar itu langsung tersenyum senang. Gila ya ini anak, sekali tembak langsung dijawab. Ini kisah cinta yang terlalu komedi di mata gue.
Dia pun mengeluarkan sebuah kotak kecil. Awalnya gue nggak tahu apa itu isinya. Dia memperlihatkan isi kotak itu. Sepasang cincin! Yang satunya merah dan satunya lagi berwarna biru muda. “Arep mbok gae opo wi?” tanyaku bodoh. “Yo tak kekno Santi tow. Ngko Santi sing abang, aku sing biru” jelasnya. So sweet.. Seumur-umur gue belum pernah diberi cincin dari cowok, meski hanya cincin mainan.
“Aku pinjem” kataku sambil mengulurkan tangan kananku. “Ojo mbok pek” sahutnya dengan sedikit ketus. “Ora..” timpalku. Dia memberikan sepasang cincin kepadaku. Cincinnya bagus. Yang merah ada tulisannya “umi” dan yang biru bertuliskan “abi”. Gila! Gue baru tahu kalau ada anak ingusan yang bisa romantis dan seromantis ini. “Besok cincinnya mau kukasihkan ke Santi” katanya. Gue hanya mengangguk & langsung iri. Kapan gue bisa kayak Santi? Masa gue kalah sama anak ingusan? Masa gue kalah sama Santi yang katanya Ibra (murid gue juga), si Santi itu kulitnya lebih hitam dari gue dan lebih jelek dari gue. Bahkan gue semakin tidak mengerti, sebenarnya yang kejiwaannya salah itu siapa. Lukas atau gue?
~ ~
Keesokan harinya, gue bertanya tentang misinya untuk memberikan cincin itu ke Santi. Entah kenapa, gue benar-benar penasaran kala itu. “Maeng aku wis nyiapne rencana. Aku bengine wis mikir, ngko pas wayah Santi ndek kelas nulis-nulis, cincin’e tak deleh kantong bar ngunu aku marani Santi. Aku jongkok, terus cincin’e tak kekne Santi” jelasnya. “Wis mbok kekne gung?” tanyaku lagi. “Yow is, tapi aku dijongkrokne eg mbek koncoku. Dadine malih gak romantis” jawabnya. Sungguh ini kisah cinta yang paling dramatis yang pernah gue dengar dari bibir cowok meski cowok itu di bawah umur. Jujur, gue suka lihat drama Korea yang romantis-romantis. Namun, semua itu nggak membuat gue kepikiran gue pengen cerita cinta gue seperti ini, gue pengen cerita cinta kayak gini, gue nggak kepikiran sama sekali. Gue benar-benar heran si Lukas bisa mikir sedrama itu juga dari siapa? Nggak mungkin kalau dia suka lihat drama Korea juga. Dia kan pernah bilang ke gue kalau dia suka nonton Spongebob setiap pagi.
“Aku sayang karo Santi. Aku emoh lhak putus karo Santi” sahutnya di depanku. Deg! Can you hear it again, again, and again? Sayang? Tuhan, mengapa anak sekecil dia bisa tahu rasa sayang? Santi sangat beruntung, Tuhan. Kapan aku bisa sangat beruntung seperti Santi? Jelaskan, Tuhan. Jelaskan padaku, kapankah itu?
Sebagai calon guru, gue mencoba menelaah lebih dalam. Gue mencoba untuk membuka sisi dewasa gue. Namun, yang ada gue tetap iri sama si Santi. Dia cerita terus tentang Santi. Jadi kesimpulannya, Santi itu teman sekelasnya dia. Dari apa yang dia ucapkan ke gue, gue pikir si Lukas memang sayang sama Santi. Santi juga tergolong beruntung karena bisa dapat cowok seganteng Lukas yang notabene Lukas itu adalah keturunan China. Gue bingung gimana cara yang tepat untuk jelaskan ke Lukas kalau dia tidak usah pacaran dulu. Gue bingung banget. Gue takut aja pas gue sudah jelaskan dengan sisi dewasa gue, eh si dianya malah nggak ngerti. Kan, guenya juga yang rempong.