Mohon tunggu...
Dani Kevin Saragih
Dani Kevin Saragih Mohon Tunggu... Bankir - Manusia Biasa

Terbentur, terbentur lagi, dan terbentuk

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penyesalan Dibalik Senja

9 Oktober 2020   14:25 Diperbarui: 9 Oktober 2020   15:55 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Thank You, bunyi mesin absensi salah seorang staff yang selalu on time saat rumah dan seisinya memanggil.

Aku pun bergegas meninggalkan meja kerjaku yang serasa mengusir secara paksa. Tentu saja, terlebih dahulu kutidurkan komputer dan komplotannya. Mereka juga butuh istirahat yang cukup. 

Setelahnya, kutempelkan jari telunjukku ke sensor mesin absensi. Please, try again, balas mesin absensinya. Kutempelkan sekali lagi dengan hati, Thank You, jawabnya secara nyaring. 

Kutunggu kawanku di depan pintu masuk. Sembari menunggu kawanku yang suka main angin dengan motor ninjanya, kuseduh segelas kopi, kuhisap sebatang rokok favoritku dan kuputar musik lawas andalanku Sang Alang-Sendiri. Tak lupa kutarik rokokku dalam dalam dan kubuang asapnya ke atas sambil memejamkan mata. Lalu, kubuka mataku. Tak sengaja kulihat langit seramah ini dengan perpaduan warna jingga ungunya. Senja, namanya.

Dari perempatan jalan yang tak terlalu jauh, terdengar suara bising motor ninja kawanku yang hanya satu satunya di daerahku menandakan aku harus menghabiskan kopiku yang masih panas. Aku dan kawanku pun pulang. 

Kami pun tiba di kost yang tak jauh dari kantor. Kuganti pakaianku buru-buru, kuseduh kopi kembali dan kuputar keras musik andalanku tadi. Maklum saja, langitnya masih indah dengan senjanya, menjebakku di ruang nostalgia dengan penuh rasa bersalah. Rasa bersalah atas sumpah jahatku yang menjadi kenyataan hidup seorang kawan sepermainan, kawan seperjuangan. 

Hari ini, melalui media ini, aku, teman seperjuanganmu, secara terbuka mohon maaf atas sumpah jahatku dari lidah yang tak bertulang ini. Benar kata Imam Ghazali, seorang filsuf ternama, bahwasanya "Senjata yang Paling Tajam itu adalah Lidah". Bukan pedang ataupun parang. Ada juga pepatah yang sering disebut orang orang "Mulutmu Harimaumu; Ucapanmu Doamu". Kalau ditimbang, ternyata ungkapan Imam Ghazali dan pepatah mainstream itu bak premis 1 dan premis 2 hasilnya konklusi. Konklusinya, dia Drop Out (DO).

Dulu, semasa kuliah, aku punya kawan bernama Arsa. Orangnya baik, rajin, suka menolong tapi kadang menjengkelkan dengan tutur katanya yang pedas dan gayanya yang slengekan. Tapi, sejujurnya, aku mengasihinya sebagai sesama kawan seperjuangan, kawan sepermainan.

Aku, dia dan lain lain menghabiskan hampir setiap waktu dengan ngampus seadanya berprinsipkan Datang, Duduk, Diam, Pulang, dilanjutkan dengan nongkrong tak berfaedah berharap uang turun dari langit dan ditutup kegiatan paket malam di warnet kebanggaan "Barton" berharap Dewi Fortuna hadir dengan keyakinan bahwa hari ini lebih baik dari hari kemarin. Siklus, artinya.

Hubungan aku dan dia baik. Katakanlah, teman baik. Saat susah, saat senang, satu rasa dengan semboyan "Sikit Sama Rasa, Banyak Beli Sendiri".

Sampai tibalah di satu waktu yang salah, satu tempat yang salah dan satu kejadian yang tidak seharusnya menjadi sebuah sumpah. Sumpah bahwa dia tidak akan menjadi alumnus kampus hijau. Sumpah yang berawal dari satu kejadian dan menghasilkan kenyataan. Satu kejadian yang tak akan ku umbar di laman ini. Aku kehilangan kendali saat itu. 

Intinya, dia berbuat kesalahan di waktu yang salah. Lalu aku menghampirinya. Dia menertawakanku. Aku pun menyumpahinya. "Kau lihat aja, kalau kayak gininya tingkahmu, kusumpahi kau pasti di Drop Out, kau tengoklah nanti, Anying".  Kasar sekali. 

Setelahnya, ikatan persaudaraan putus. Dan butuh waktu hampir 1 bulan menyambung kembali tali persaudaraan yang putus tersebut.

Akhirnya, seiring berjalan waktu, aku lulus dengan mulus dan aku resmi alumnus. Dia belum tapi dia tulus dengan semua bantuannya dari proses seminar, sidang hingga wisuda. 

Selang beberapa waktu kemudian, aku terbang ke ujung timur dengan banyak pertimbangan. Aku, dia, masih baik baik saja, berhubungan akrab. Sampai satu kebiasaan lamanya masih melekat bak tumbuhan parasit yang hidup di tanaman. Judi, pasarasitnya, dia, tanamannya. Handphone pun tergadai. Syukurlah. Syukur, bukan ginjal. Lalu, komunikasi tenggelam. Aku sibuk dengan peradaban disini, dia sibuk dengan pendidikan disana. Semoga dia serius.

Sekian lama tak terhubung, akhirnya dia muncul ke permukaan membawa kabar duka bahwa sumpahku kini menjadi takdirnya, jalannya dan deritanya. Tujuh tahun kuliah, menghabiskan banyak biaya, tenaga dan waktu tanpa hasil, tanpa gelar, karena imbas sumpah yang pernah terucap. Berpengaruh tapi tidak sepenuhnya, tapi tetap saja salah. 

Dari dia, dari sumpah, dari kenyataan dan dari cerita diatas, aku belajar Bicara Seperlunya, Tertawa Seperlunya dan Berbuat Seperlunya.

Semoga dengan cerita yang penuh penyesalan ini, hidupmu jauh lebih baik di kemudian hari, kawan. 

Info apapun keadaannya. Barangkali, aku bisa bantu.

Tuhan memimpin jalanmu yang baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun