Intinya, dia berbuat kesalahan di waktu yang salah. Lalu aku menghampirinya. Dia menertawakanku. Aku pun menyumpahinya. "Kau lihat aja, kalau kayak gininya tingkahmu, kusumpahi kau pasti di Drop Out, kau tengoklah nanti, Anying". Â Kasar sekali.Â
Setelahnya, ikatan persaudaraan putus. Dan butuh waktu hampir 1 bulan menyambung kembali tali persaudaraan yang putus tersebut.
Akhirnya, seiring berjalan waktu, aku lulus dengan mulus dan aku resmi alumnus. Dia belum tapi dia tulus dengan semua bantuannya dari proses seminar, sidang hingga wisuda.Â
Selang beberapa waktu kemudian, aku terbang ke ujung timur dengan banyak pertimbangan. Aku, dia, masih baik baik saja, berhubungan akrab. Sampai satu kebiasaan lamanya masih melekat bak tumbuhan parasit yang hidup di tanaman. Judi, pasarasitnya, dia, tanamannya. Handphone pun tergadai. Syukurlah. Syukur, bukan ginjal. Lalu, komunikasi tenggelam. Aku sibuk dengan peradaban disini, dia sibuk dengan pendidikan disana. Semoga dia serius.
Sekian lama tak terhubung, akhirnya dia muncul ke permukaan membawa kabar duka bahwa sumpahku kini menjadi takdirnya, jalannya dan deritanya. Tujuh tahun kuliah, menghabiskan banyak biaya, tenaga dan waktu tanpa hasil, tanpa gelar, karena imbas sumpah yang pernah terucap. Berpengaruh tapi tidak sepenuhnya, tapi tetap saja salah.Â
Dari dia, dari sumpah, dari kenyataan dan dari cerita diatas, aku belajar Bicara Seperlunya, Tertawa Seperlunya dan Berbuat Seperlunya.
Semoga dengan cerita yang penuh penyesalan ini, hidupmu jauh lebih baik di kemudian hari, kawan.Â
Info apapun keadaannya. Barangkali, aku bisa bantu.
Tuhan memimpin jalanmu yang baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H