Cerita ini diceritakan sendiri olehku tujuh puluh tahun lalu. Tentang kehidupanku yang singkat di sebuah tempat fana, aku tak tahu di sebut apa alam itu. Â Sudah lama kutinggalkan dan sejauh ini hanya sedikit yang masih bisa kuingat. Itupun singkat saja, hanya hari-hari kecil yang masih sedikit tertinggal di memori dan seseorang yang kucatat namanya dalam hati. Sekarang aku di dalam seonggok kereta yang membawaku menjauh, kelebat bayangan seseorang itu, Bapak, Â menghantui dan meminta di tepis. Bangku di sebelahku kosong. Kereta malam yang lengang. Kesiur angin loncat dari jendela yang kacanya diburami perjalanan, menampar-nampar pipiku dengan sombong.Â
Di ujung lorong seorang petugas tiket  memandangi seisi gerbong yang seluruh penumpangnya tertidur dengan tatapan resah. Ia ragu haruskah ia mencoleki pundak-pundak mereka, menghancurkan gelegak mimpi yang di tiduri lelah hanya untuk selembar tiket? Staples di genggaman tangannya ikut ternganga dingin, jika sebatang besi itu bisa berkata, ia akan menghardik, "Aku ngantuk, tahu!"Â
Dan demi semili kebaikan yang masih tersisa, kurogoh secarik kertas kumal dari saku baju. Jika petugas tiket itu sampai di kursiku nanti, akan kuberi bukti yang menjadi saksi halalnya aktivitas dudukkku di kereta ini sebelum ia meminta. Untuk mengurangi resahnya, untuk mencabut rasa bersalahnya. Tetapi menunggu petugas itu, rasanya seperti mengantri mandi di WC umum terminal kumuh, tak sabar, di buru-buru kotor, dan di telikung was-was copet berkeliaran. Karena ia masih saja di ujung lorong, berkelahi dengan resahnya.
 Malam  larut bercampur air telah kuminum dan menjadikan kantukku memberontak dalam penantian. Dari sela-sela kaca yang terbuka, kupandangi tetumbuhan gelap yang berlarian kebelakang. Mereka menjauh saat melihat wajahku, memandangiku seperti hantu. Ah! Wajah Bapaklah yang menjadi hantu. Berkali-kali gurat wajahnya menggerogoti tepi-tepi hati, membuat nuraniku sendiri menghakimi, kau anak durhaka!
 Lalu aku membantah padanya, apa salahnya menjadi durhaka? Semua manusia pastilah durhaka pada Tuhan. Hanya hati-hati yang di isi kosonglah yang selalu merengek bersembunyi di balik jubah taqwa.Â
Munafik! hatiku mendesis.
Mataku semakin sayu memandangi depan kursiku yang juga kosong, pandanganku beralih dari nyata-nyata menjadi kabur dituangi mimpi tidur. Tanganku melemah pada pelukan tas ransel di depan dada. Masih juga berputar perpisahanku dengan Bapak puluhan tahun lalu. Namun aku merasa momen itu baru saja terjadi, seharusnya aku sudah lupa jika telah terjadi selama itu. Tetapi kisah ini nyata sebab tokohnya adalah Bapak, seseorang yang pernah  berjanji tak akan pernah kulupakan...Â
 Sebentar , namaku Allysa.Â
Aku adalah seseorang yang akan meminum secangkir kopi meski isinya telah habis. Aku adalah orang yang akan menyobek merk sebuah koran sebelum membacanya. Dan aku adalah orang yang akan melipat baju setelah dia jadi basah. Kau juga boleh melakukan itu semua, meski namamu bukan Allysa. Atau meski kau juga bernama Allysa, tetapi kau bukanlah diriku. Tidak ada yang salah dengan hal-hal itu. Yang salah adalah jika kau mencoba jadi diriku, kau tak akan bisa, sebab aku itu sempurna.
Orang-orang suka memanggilku Ally, padahal aku ini perempuan. Sebenarnya itu bukan masalah, laki-laki perempuan sama saja. Sama-sama akan mati. Jadi cukup saja perkenalannya, untuk apa kau mengenalku lebih jauh, kau pun tak akan bisa bertemu denganku di manapun kau mencari.
Aku tidak akan duduk di kereta ini tanpa mengenang masa lalu. Meski sebentar lagi aku tertidur. Yah..perjalanan ini sungguh panjang, belum akan berakhir meski kau telah mati ribuan kali. Kematian pertamamu adalah sepuluh tahun waktu di sini, jadi bisa dibayangkan, akan seberapa jauh perjalanan ini.