Mohon tunggu...
Daniel Victor Agustinus
Daniel Victor Agustinus Mohon Tunggu... -

mahasiswa di Jurusan Komunikasi ATmajaya Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Indonesia Jangan Diam

23 Maret 2015   17:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:12 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Indonesia Tanah Airku, Tanah tumpah darahku, di sanalah aku berdiri jadi Pandu Ibuku

Cuplikan lagu indonesia Raya di atas merupakan  ciptaan WR. Supratman. Lagu yang menggambarkan ide besar tentang anak bangsa, khususnya orang nasrani indonesia, yang harus berkiprah di tengah bangsanya dengan apa yang ada padanya. Doa kita, “Jadikanlah kehendakMU di bumi seperti di surga,” tergenapi pula ketika kita berkiprah di tengah bangsa kita di bumi Indonesia. Paulus memahami hal ini ketika ia menegaskan bahwa “kewargaan kita adalah di dalam surga” (Fil.3:20) sekaligus menasihati agar kita “tunduk pada pemerintah dan orang-orang yang berkuasa, taat dan siap untuk melakukan setiap pekerjaan yang baik” (tit.3:1). Artinya, kewargaan yang rohani itu selalu mensyaratkan penjabaran dalam kewargaan yang jasmani.  suasana surga, yang rohani,harus digenapi di bumi yang jasmani. sebab itu orang Nasrani Indonesia, bersama seluruh Bangsa Indonesia, wajib bangun jiwa dan badannya untuk “melakukan setiap pekerjaan yang baik untuk Indonesia Raya”.

Anak bangsa menuntun bangsa, Supratman mengukirkannya secara indah dalam kalimat yang masih kita kumandangkan sampai hari ini : “DI SANALAH AKU BERDIRI JADI PANDU IBUKU”. “Pandu” pastilah bukan kata yang asing bagi telinga orang Indonesia. Dahulu  kita sudah mendengarnya dalam istilah kepanduan (kini jadi Pramuka- Praja Muda Karana). Sekarang kita masih memperdengarkannya dalam isitilah pemandu wisata, pemandu acara, atau buku panduan.Namun tahukan anda makna harafiahnya? Menurut kamus, pandu berarti “penunjuk jalan,” sehingga memandu berarti “menjadi penunjuk jalan.” Makna yang belakangan ini bisa diperluas lagi jadi “memimpin/mengarahkan/menuntun/membimbing.”

Istilah “Ibu” yang dimaksud Supratman adalah ibu pertiwi, tanah air atau tanah tumpah darah, tempat bangsa berada. Prthvi atau prthivi, asalh kata “pertiwi,” adalah bahasan Sansekerta untuk dewi bumi menurut kepercayaan Hindu. Tentu saja makna kedewian pertiwi sudah luntur dalam penggunaan sehari-hari. Artinya, orang Indonesia yang bukan Hindu memakai kata itu dengan mengacu pada makna buminya saja, bukan makna dewinya. sama halnya ketika orang memakai kata kala (manakala,tatkala, senjakala, dll)

dengan begitu, jadi pandu ibuku berarti jadi penunjuk jalan bagi Tanah Airku: jadi pemimpin/pengarah/penuntun/pembimbing bagi tanah airku. di sana, di tanah air Indonesia, aku berdiri jadi penunjuk jalan bagiNya. ini pernyataan yang teramat luhur dan mulia! Dibawanya angan kita melabang ke tataran pemikiran tentang setiap anak bangsa sebagai pandu bangsa.

Ya, setiap anak bangsa. Bukan cuma pejabat dan pemuka, bukan cuma agama islam saja. karena di lagu tersebut berkata setiap anak bangsa. Mengapa setiap anak bangsa? karena “di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku”, dilafalkan oleh semua bibir orang Indonesia, besar-kecil,tua-muda,kaya-miskin,laki-perempuan, agama apapun dan golongan apapun. Selama demikian adanya, selama Indonesia raya dinyanyikan semua orang indonesia tanpa ada pengecualian, kita semua adalah pandu ibu pertiwi. kita semua menyatakan “di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku.” Kita semua menggengam hak dan kewajiban istimewa kepanduan.

Kita Lupa

Sayangnya, banyak orang Indonesia hari ini menyanyikan hak dan kewajiban istimewa itu kepada angin hampa belaka. Kita sudah begitu terbiasa mengucapkan “di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku”, sampai-sampai kita lupa “di sana” itu dimana dan “jadi pandu” itu apa artinya. Orang Nasrani Indonesia pun ikut serta dalam kenyataan ini. padahal kita diajari Yesus : Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan tidak” (Mat 5:37). Kepada kita, yang konon garam dan terang dunia patut ditanyakan secara serius : Iyakan kita berdiri jadi pandu ibu seperti yang kita ucapkan dalam nyanyian? Iyakah kita memandu Negeri kita dalam kebenaran Firman supaya Allah dimuliakan di atasnya?

Kalaulah kealpaan kita tidak berdampak kepada kesejahteraan bangsa kita, tentunya tidak ada masalah. Tetapi Kealpaan itu ternyata telah membantu pendalaman lubang tempat kita terjerumus sejak kerontokan ekonomi hampir sedasawarsa yang lalu. Ketika Ibu pertiwi mengharapkan Pandu-pandu untuk menuntun dari lembah kesuraman, ia hanya mendapati anak-anak yang alpa dan lupa. Kebanyakan dari kita hanya berdiam diri di Gereja, mengharapkan bantuan Tuhan untuk  Negeri ini tanpa melakukan sesuatu, itu sama saja kita sedang mencobai Tuhan dan kita merupakan orang yang munafik di dunia.

Ini saatnya untuk membenahi hati yang menumpul, Bukankah kita patut bersyukur bahwa Allah membubuh perkataan “di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku” dalam lagu kebangsaan kita? DipakaiNya syair itu untuk mendorong kita menjabarkan kewargaan rohani dalam kewargaan jasmani. Saat ini dan di sini. Selama Allah masih berkenan Indonesia Raya dinyanyikan di seluruh pulau kecintaan kita, selama itu pula pesan luhurnya dialunkan menantang porak-poranda yang merompak Bangsa kita hari ini.

Belumlah terlambat untuk kita menjadi pandu yang baik untuk ibu pertiwi, selama Allah masih cinta akan negeri kita Indonesia, selama itu pula kita diajak untuk berkontribusi bagi negeri Indonesia tercinta! Salam Indonesia Jangan Diam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun