Mohon tunggu...
daniel tanto
daniel tanto Mohon Tunggu... Montir - melukis dengan cahaya, menulis dengan hati...

bekerja di institusi penelitian suka menulis, memotret, dan berfikir

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Taman Pintar Yogya: Jabat Erat dari Dunia Sains

18 Januari 2010   06:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:24 1840
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari ini saya sering penasaran, sejak ada teman yang mampir. Namanya Mr. Seniman, seorang gitaris grup rock ‘n roll yang always almost rekaman. Saya cerita dulu tentang kawan saya yang satu ini, karena kisah hidupnya cukup menarik. Dia sempat ikut tour dan mengiringi beberapa penyanyi terkenal, tetapi kemudian sadar, kalau hidupnya mungkin bukan di jalur music. Akhirnya dia berjualan handphone dan ringtones. Apakah petualangan berhenti sampai di sana? Tidak, selanjutnya hidupnya berubah karena ternyata ringtones memiliki hak cipta, dan herannya hak cipta ringtones Deff Leppard misalnya, bisa dibayar ke KCI (komite something begitu.. Saya lupa kepanjangannya). Apakah KCI menyetor ke grup rock mancanegara tersebut? Saya kurang jelas. Tetapi yang jelas hasilnya: teman saya ini kena masalah sampai ke pengadilan segala, sungguh kacau! Setelah berganti-ganti profesi, sekarang dia berjualan makanan siap saji.

Nah, apa hubungannya dengan rasa penasaran saya tadi? Begini, sore itu Mr. Seniman mampir untuk ngopi sambil bertukar dongeng dengan saya. Mr. Seniman baru saja mendapatkan semacam tempat jualan di tempat yang disebut TAMAN PINTAR. Sebagai orang yang merasa kurang pintar saya sangat tertarik dengan Taman Pintar. Siapa tahu itu semacam tempat untuk membuat seseorang menjadi lebih pintar. Eh, siapa tahu otak saya yang tumpul ini bisa ditajamkan di taman itu.

"Itu tempatnya mantep, Man (“Man” adalah cara Mr. Seniman memanggil teman lelakinya; lalu sebagai manusia modern yang mengikuti hukum "what monkeys do then monkeys do", saya jadi ikut terbawa memanggil dia "Man" juga) … Pengunjung ampe ribuan kalau weekend!!"

"Oh, rame ya? Gua (diucapkan dengan logat medhok Jawa) sering beli buku di Shopping Center, sering lihat, Man, tapi belum pernah mampir"

"Elo salah Man, elo kan suka otomotif, di sana ada mobil dibelah Man! Elosuka"

"Dibelah? Kelihatan dalamnya? Weh, mantep neh, aku kudu ke sana Man!"

Sambil menghisap rokok, Mr. Seniman berhembus," Iye Man, wajib! Elo juga mampir ntar ke kedai ane.."

Semenjak pertemuan ini saya jadi kepengen sekali ke Taman Pintar. Saya ingat dan tahu lokasinya, karena saya sering ke Shopping Center dan ke Gedung Taman Budaya untuk menyaksikan Bienalle bulan Desember kemarin. Saya merasa itu pasti taman untuk anak-anak, jadi pasti aneh kalau saya sendirian ke sana. Saya takut jika saya sendirian ke sana bisa dituduh copet atau penculik anak. Saya terpaksa memundurkan rencana sambil berpikir-pikir bagaimana caranya bisa berkunjung ke Taman Pintar tanpa terlihat aneh.

Sore itu saya bersantai di pendopo rumah, biasa lah, ditemani punakawan saya yang setia, yang obrolannya kadang di luar jangkauan akal sehat. Saya sengaja memancing Sastro untuk mengeluarkan idenya. Saya sampaikan keinginan saya dolan ke Taman Pintar, tapi kok Sastro, heran sungguh heran dia sangat tidak antusias. Kadingaren, tumben, biasanya Sastro antusias sekali kalau menyangkut soal dolan-dolan dan fenomena beginian.

Dengan rada dongkol, "Kenapa toh? Kamu itu terlihat tanpa antusiasme?"

"Ngga papa, Mas.. Saya itu cuma mikir pantes tidak saja"

"Pantes? Tidak pantes?"

"Iya, itu taman buat orang pinter, toh? Saya mbayangke isinya Plato jalan-jalan, Newton baca buku di bawah pohon, Einstein ngundha layangan, Socrates main gundu, dan Stephen Hawkins didorong menghirup udara sore. Lha kalau terus ada sesosok Sastro ikut-ikutan? Bisa bubrah!"

"Walah, asem, kamu itu baca buku-buku filsafatku ya? Woooo, njuk show off di depanku! Terus bahasanya meninggi! Kok isa-isane sampeyan itu ngaduk-aduk lemari buku pribadi saya? Jangan-jangan sampeyan juga duduk di sofa saya sambil ngopi dan merokok menikmati buku-buku saya?"

Sastro agak kaget, tapi sebentar saja dan siap-siap mengeyel lagi, "Lah? Kan njenengan sendiri Mas, yang sukanya omong kalau saya harus banyak belajar, banyak membaca. Lha saya nyari bacaan sudah habis. Kalau dulu njenengan masih kadang beli majalah pria, beli tabloid, beli novel roman, sekarang kan jenengan sudah tidak pernah beli. Semua njenengan baca di kios korannya supaya irit. Lha saya terpaksa Mas, sudah kehabisan bacaan, lha kalau baca buku atau majalah lain sudah habis"

Saya agak tersentak, benar juga, anggaran saya untuk bacaan ringan sudah tidak ada akhir-akhir ini. Sudah ngirit. Kasihan juga si Sastro, mengais-ngais bahan bacaan sampai buku filsafat dilahap. Saya sendiri yang mengajari dia supaya suka membaca, dari koran lokal, sampai novel, dan akhirnya dia kecanduan bacaan. Suatu hal yang luar biasa untuk seorang lulusan SMP seperti dia. Saya merasa bersalah juga dengan urusan ini.

"Ya sudah, gak apa-apa, asal jangan megang buku saya dengan tangan kena minyak pisang goreng dan sebangsanya. Dibaca dan dikembalikan pada tempatnya."

"Iya Boss, eh tapi njenengan malah kalau baca di kamar mandi, sampai saya pernah diminta menjemur buku gara-gara terjatuh di lantai kamar mandi."

"Weeeee, sampeyan ini malah semangkin nekad … saya ini masih pemimpin di sini, ngono ya ngono ning aja ngono! Pemimpin itu boleh dikritik tapi jangan banyak-banyak, apalagi masalah personal, jangan mengkait-kaitkan dengan aturan yang saya bikin", saya sudah kepepet dan hak otoritas saya harus muncul, bahaya kalau bawahan diberi kebebasan bicara yang tidak terbatas, lama-lama bisa menggoyang tampuk kekuasaan dan menghilangkan respek lingkungan terhadap pimpinan. Saya tidak mau itu terjadi.

Sastro tampak agak takut, saya jadi inget resep pimpinan yang baik dan benar. Jika jadi pemimpin, berilah rakyatmu makan, permainan dan hiburan yang cukup, maka mereka akan tenang damai.

"Wis, gini aja Tro, besok kita berdua ke Taman Pintar, pulangnya mampir Shopping Centre buat beli majalah-majalh bekas yang kamu pengeni … pulangnya nanti kan sudah sore, kita mampir di soto Lenthuk di Lempuyangan, makan soto.. Piye?"

"Sip Bosss, memang njenengan itu juragan yang penuh perhatian"

[caption id="attachment_56152" align="aligncenter" width="500" caption="seragam Pramuka SBY"][/caption]

Saya jadinya memutuskan berkunjung ke Taman Pintar bersama Sastro. Wajah Sastro yang lugu cukup mengamankan saya. Kalau kebetulan ketemu teman dan ditanya, bisa bilang ‘ngantar Sastro’, alias Sastro yang kepengen. Biar muka saya selamat dan saya yakin juga Sastro akan bahagia. Jadi, inilah mutualisme sempurna.

Dan terjadilah, hari ini kami berdua ke Taman Pintar. Ternyata jadinya bukan hanya Sastro yang ndeso, saya juga jadi ndeso, kagum dengan betapa halusnya ilmu pengetahuan itu dibenamkan kepada anak-anak. Sisi cerah dan gampang dari pengetahuan yang diekspos. Bukan seperti buku-buku fisika dan kimia saya jaman sekolah tahun 70-80an dulu. Di sini ada kegembiraan untuk bermain dengan sains. Di sini bersalaman dengan tangan-tangan sains yang hangat dan nyaman, tanpa ketakutan bahwa sains adalah hal yang sulit. Ada permainan listrik, modeller tata surya, mekanika, mesin, rumah simulasi gempa, diorama pasang surut dan tsunami, dan banyak lagi ilmu pengetahuan disajikan dengan bahasa ringan dan bahagia, sangat ringan, tidak menakutkan, membuat keingintahuan anak bisa terbentuk dengan sendirinya. Idealnya tempat ini diperluas dan pengantar ilmunya bukan hanya sekedar sepotong-sepotong, tapi diluar itu, kesan saya buat tempat ini adalah: luar biasa, benar-benar sains yang merakyat!

Selama di sana, Sastro juga terlayani dengan cukup baik. Walaupun petugas banyak yang pasif, tapi kalau ditanya mereka mau jawab. Asal cerewet, pasti dapat pengetahuan. Ya pepatah, “malu bertanya sesat di taman” berlaku di sini.

Di kompleks Taman Pintar ini ada beberapa bangunan dan taman bermain yang luas. Di taman juga ada permainan labyrinth, semprot air, pipa telepon, dan lain-lain, semua gratis. Makanya jika sore banyak orang tua menyuapi anaknya di taman ini. Benar-benar fasilitas untuk rakyat. Sepengetahuan saya ada 3 gedung dengan 2 karcis untuk memasukinya. Gedung memorabilia 1 karcis, gedung oval dan kotak untuk peraga sains menggunakan 1 karcis juga. Harganya tidak mahal, masih cocok lah, dengan ilmu yang didapat (jika kita rajin tanya, dan tidak hanya mengangakan mulut selama tour) . Pengalaman menjelajah ilmu pengetahuan memang berharga.

Di gedung memorabilia suasananya mirip sekali dengan museum. Cuma karena ada beberapa penyajian dengan OHP dan komputer interaktif, jadi lebih menarik. Walaupun demikian, bau museum tercium kuat dari tata cara penyajian benda-benda yang dipamerkan. Jika ditata seperti HardRock Cafe, saya yakin akan semakin menarik.

Di dalam gedung oval dan kotak seluruhnya display dari ilmu pengetahuan dan budaya. Dari boneka robotik bentuk Tyranosaurus yang bisa geleng-geleng sambil mengaum, (anak kecil sampai lari tunggang-langgang dan menangis), sampai display mobil yang dipotong bagian-bagian mesin dan interiornya. Saya harus mengakui peran sponsor perusahaan besar untuk pemahaman ilmu pengetahuan sangat besar di sini. Banyak perusahaan besar memiliki display disini. Brand awarness dipadu dengan penyajian teknologi dan sains memang jadi tontonan yang indah di mata saya. Daripada baliho yang menyakitkan mata, saya rasa display perusahaan bisa diolah seperti ini. Bermanfaat dan memberi pengetahuan.

Setelah saya dan Sastro selesai berputar-putar di gedung-gedung, memainkan gamelan, menatap pembuatan keris, mengagumi batik, menjelajah dunia purba,mengarungi bima sakti, kami keluar dengan hati puas. Semua selamat, dan tidak ada yang meneriaki copet. Mengenai hal ini menurut Sastro karena dia mencangklong termos gambar Doraemon yang sengaja dibawa untuk kamuflase. Memang sepertinya hari itu hanya kami berdua manusia umur 30an yang tidak membawa anak. Saya hanya manggut-manggut saja, karena untuk persiapan hari ini saya sampe mencukur jenggot panjang saya. Mencegah kesan negatif terhadap orang berjenggot dan menyamarkan umur saya yang sudah mepet ke kepala 4 (tapi masih suka bermain-main).

Selesai pengelanaan, kami mampir di Shopping Center, sentra penjualan buku bekas/murah di Yogya. Sastro saya minta memilih majalah dan saya sendiri membeli beberapa majalah untuk saya sendiri. Shopping Centre nampak lengang. Sepertinya minat baca agak menurun seiring mudahnya mencari bahan bacaan di internet. Bahkan buku terbaru yang tentang ‘gurita’ itu, sudah bisa didownload file pdf -nya di internet. Benar-benar mengagumkan kecepatan informasi di internet. Satu-satunya alasan masih membeli buku buat saya karena saya masih enggan membawa laptop ke kamar mandi. Jadi bukulah teman saya menyendiri di kamar mandi.

Seusai berbelanja majalah bekas, saya dan Sastro jadi juga jajan di soto Lenthuk Lempuyangan. Rasa soto yang bener-bener Jawa, perkedelnya dari ketela bukan dari kentang. Kuahnya sangat kuat rasa kaldu ayam kampungnya, sedangkan kunirnya menjadi sidekick setia rasa kaldunya. Komposisinya juga khas banget, saoto orang jaman dulu menyebutnya. Terdiri atas kubis, kecambah, soun, sedikit suwiran ayam, dan brambang goreng. Nasi bisa diminta dipisahkan atau dicampur dalam mangkok. Soto Lenthuk tidak lengkap jika tidak mencomot sate dan rambak sapinya. Panas, pedes, gurih, yang menyala-nyala kita padamkan dengan guyuran es teh yang kental, bukan seperti es teh apa adanya itu, yang kuning dan bening. Ini es teh sesungguhnya, warna coklat kemerahan gelap, pahit, manis dan sepet-nya benar-benar sedap! Sastro makan dengan lahap, sambil bicara tidak jelas, sepertinya mengomentari perjalanan tadi. Saya cuma mengangguk-angguk saja. Lha wong saya khawatir dengan teknik comotan sate, perkedel, dan rambaknya yang sangat lincah. Weh, mumpung ditraktir bolehnya dia terus nge-gas pol. Ya sudahlah, wong saya juga jarang mentraktir dia semenjak di negara ini makin susah cari uang. Seusai makan kami pulang. Berkendara Vespa tua yang kadang terbatuk-batuk, sepanjang jalan saya masih bahagia, betapa menyenangkannya sains disuguhkan di Taman Pintar, tidak seperti yang diajarkan kepada saya dulu sewaktu masih sekolah.

PS. Foto-foto menggunakan Kamera Handphone...

[caption id="attachment_56140" align="aligncenter" width="500" caption="baju koko milik Alm. Gus Dur"][/caption]

cerita sastro yang lain: http://www.kompasiana.com/tag/sastro/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun