Mohon tunggu...
daniel tanto
daniel tanto Mohon Tunggu... Montir - melukis dengan cahaya, menulis dengan hati...

bekerja di institusi penelitian suka menulis, memotret, dan berfikir

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Selamat Tahun Baru,'Tro..

5 Januari 2010   05:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:37 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dengan menyeret badan, saya pulang ke rumah. Bulan Desember yang berat buat saya. Hujan dan panas silih berganti. Hal ini sangat mengganggu stamina saya sebagai pengendara motor. Seperti kain yang dijemur dan dibasahi terus-menerus, akhirnya jadi amoh, mbedhel, lunak, terurai. Demikian juga saya, tenggorokan jadi mulai meradang, badan mulai anget, tulang mulai berkerotokan, dan bunyi-bunyian aneh yang muncul dari tubuh saya. Beruntung tahun baru tahun ini muncul di hari Jumat, sehingga saya punya waktu untuk libur Jumat, Sabtu, dan Minggu. Tujuan saya sama sekali bukan untuk bersenang-senang. Saya pengen istirahat total di rumah. Mau bermalas-malasan, karena tuntutan badan saya, dan mungkin karena usia sudah menjelang angka di kepala 4. Sudah mulai terasa, tingkat kekebalan terhadap cuaca tidak lagi sebaik dahulu.

Selesai mandi dan makan, seperti biasa saya minum teh di pendopo rumah. Agak ramai di depan rumah, karena ini malam tahun baru. Saya melihat beberapa tetangga mulai bepergian, mungkin hendak merayakan tahun baru di hotel, resto, atau sekedar di alun-alun melihat pesta kembang api. Berhubung saya termasuk tipe manusia yang tidak menyukai keramaian dan kondisi saya yang kurang sehat, maka saya bercokol saja di atas bale bengong, singgasana saya saban sore menjelang malam. Herannya malam ini tidak hujan seperti malam-malam sebelumnya. Mungkin para pawang bekerja keras mensukseskan acara-acara tahun baru-an, yang memang kebanyakan diadakan di ruang terbuka.

Sambil menyeruput teh yang agak manis, saya berusaha me-review kejadian akhir-akhir ini yang pantas dijadikan topik tulisan saya. Menteri dapat mobil baru, Ayu Azhari dicalonkan menjadi wakil bupati, Gus Dur wafat, Prita bebas, buku Gurita Cikeas, hotel fully booked, dan kejadian-kejadian lain berkelebat di dalam benak saya. Semakin lama saya semakin kurang mampu berkonsentrasi, dan mulailah kantuk menyerang.

"Mas, bangun, Mas.. Weh ini malam tahun baru kok malah panjenengan pingsan di korsi?" terdengar suara cempreng membangunkan saya.

"Woo.. Kowe ‘Tro, sudah balik dari cari mangsa pembantu sebelah? Sana, saya mbok diisi ulang tehnya, ini sudah dingin", seru saya. Sebentar kemudian Sastro sudah kembali, membawa teh saya, tanpa nampan, tanpa ekstra gelas.

"Kadingaren, tumben, kamu nggak bikin minum?", kata saya.

"Nggak, Mas, mosok tahun baru gini mung ngopi-ngopi di teras … seperti nggak tahun baru saja", protes Sastro.

"Wo, sampeyan dengerin ya: 1. Ngopi itu rejeki, jangan dianggap ‘biasa’. Kalau kita sakit, bangkrut, atau mati, nggak bakalan bisa ngopi lagi. Maka disyukuri! Ke-2. Jangan cerigis soal tahun baru, ini sama saja dengan hari-hari lainnya, tidak wajib dirayakan, tidak wajib dipakai bersenang-senang! Yang terakhir, saya sedang laku prihatin, jangan menggoda saya buat marah," begitu pendapat saya.

Tapi bukan Sastro kalau tidak memancing-mancing lagi. Sastro bercerita tentang acara-acara yang digelar di malam tahun baru ini, dari makan buffet di resto, tek-jing-tek-jing (joged/disko) di diskotik, pagelaran musik yang gratis dan bayar mahal juga ada.. Pokoke lengkap!

"nJenengan nggak nonton Dewi Persik di Hyatt toh, Mas? Dia itu salah satu idola saya lho, Mas!" Satro mulai klaim dan mengarahkan ke satu acara.

"Males ah, ‘Tro, kita di rumah saja, capek!", saya membalas dengan suara rada gerok, serak.

"Sana bikin kopi kalau mau ngobrol, aku dongengi saja, ben seneng."

Sastro langsung duduk dengan sikap waspada siap mendengarkan."Ra gawe kopi dulu, ‘Tro? Saya males nek terus diinterupsi gara-gara sampeyan tiba-tiba pengen ngopi!", Sastro mengangguk mantap, dan dongeng pun segera dimulai.

Malam ini topik saya tentang GUMUN. Gumun dalam bahasa Jawa artinya adalah TAKJUB. Tapi kalau di dalam ‘rasa’ Bahasa Jawa, tekanan gumun itu adalah ketakjuban bercampur keheranan atas hal yang aneh, bukan atas keindahan atau penilaian yang terlalu positif. Jadi gumun itu misalnya keheranan kok ada kambing berkepala kerbau. Tetapi, kata gumun kurang pas bila diterapkan pada ketakjuban terhadap keindahan Paris di musim gugur, misalnya.

Nah, akhir-akhir ini saya gumun terhadap kenyataan bahwa masih banyak orang berduit akhir-akhir ini. "Aku ‘ki gumun bener, ‘Tro, barusan menteri-menteri dibelikan mobil dinas senilai hampir 1 milyar, kamu juga baca kan di koran? Malah kamu nanya, apa aku minat lelangan bekasnya yang Camry … lha kok aku? Paling Mr. Konglomerat itu yang akan berburu bekasannya. Nah, saya kan dodolan handphone juga … sampeyan mau tahu? Handphone apa yang paling laris sekarang? Blackberry yang termahal! Malah yang murah-murah kurang digemari. Aneh toh? Padahal saya dengar-dengar sedang krisis ekonomi. Kok ya yang namanya kendaraan indent, perumahan milyaran tetep laris, dan buanyak lagi hal-hal yang tidak cocok dengan rasa krisis itu." "Lha? Kok bisa ya, Mas?" "Malah balik tanya? Sudah saya bilang saya gumun" "Lha kan njenengan yang seharusnya tahu? nJenengan kan sing jarene kritikus, sensitif terhadap kondisi." "Mbuh, enggak tahu Tro, saya juga dalam posisi bertanya. Sampeyan kira-kira tahu jawabnya enggak?" "Apalagi saya mas, tapi analisis saya karena masih banyak pegawai negri, kan gajinya mundhak terus itu, Mas? Tiap tahun selalu ada pengumuman kenaikan gaji, apalagi semenjak presiden yang ini, kan dimomong beneran para priyayi abdi negara itu. Dinaikkan gaji, diberi fasilitas, pokoke saya jadi pengen menjadi pegawai negri juga. Kapan saya diangkat PNS ini, Mas?" "Sak karepmu, ‘Tro. Besok mau? Tak usulke ya? Nanti aku usahakan kamu jadi PNS dan punya mobil dan rumah dines.. Puas?" "Halah, Mas cuma ngenyek, mau menghina saya, wong sebenarnya, Mas, kita itu kan sama-sama kejepit kondisi, cuma berusaha saling menghibur toh?"

Saya manggut-manggut berusaha mencerna, ada benernya juga, tapi apa ada unsur lain, ya? Saya ingat teman-teman saya banyak yang kaya semangkin kaya dan yang kejepit semangkin sesek. Mungkin itu yang terjadi sekarang. Kondisi ekonomi saya sendiri juga kurang baik akhir-akhir ini. Untung Sastro menyadarinya. Hampir 3 tahun terakhir ini dia tidak menikmati kenaikan gaji. Hanya kesetiaannya saja yang membuat ada rasa susah dan senang dinikmati bersama. Sebenarnya kalau akhir-akhir ini, lebih banyak susahnya daripada senangnya.

"Trus malam ini mau acara apa, Mas?", Sastro tampaknya memahami beban di kepala saya, dan berusaha mengalihkan topik. "Saya ada uang 20 ribu nih ‘Tro, beli beer saja, sama susuke, kembaliannya dibelikan rokok berapa batang" "Oke, Mas, tak ke warung bentar. Tapi, Mas? Budget kok sama terus dari tahun ke tahun? Apa tidak perlu ditingkatkan?" Saya kibaskan tangan,"Ora sah crigis, anane kuwi. Nggak usah cerewet, adanya cuma itu! Hush... Hush.. Mangkat sana!"

Saya menunggu sambil mencoba mengurai badai pikiran di kepala saya lagi. Kenapa sekarang begitu sulitnya jadi orang menengah seperti saya, mau naik kelas susah, mau turun kelas juga tidak tega. Saya mengingat masa kecil saya, di mana sepertinya malah tidak ada cerita orang mati kelaparan di negeri ini. Tidak ada pembagian beras miskin, tidak ada kakek 70 tahun ditangkap karena mencuri pisang, tidak ada kesenjangan sedalam ini. Saya ngenes, sedih karena memikirkan hal-hal yang saya sendiri tahu tidak akan bisa saya ubah. Lebih sedih dari kesedihan itu melihat kondisi saya yang juga pas-pasan. Jika saya boleh mendapatkan kesempatan, maka saya ingin supaya kesenjangan ini tidak digali semakin dalam. Ini hanya menunggu waktu buat ledakannya, di mana banyak orang lapar menonton mobil bermilyar-milyar berkeliaran di jalan. Apakah mereka yang di gedung rakyat sudah mengantisipasi ini? Saya tidak terlalu yakin, karena mereka sendiri malah lebih sibuk untuk menggali jurang kelas menjadi lebih dalam, dengan laptop baru, dengan rumah dinas dan anggaran pemugaran rumah dinas, dengan mobil dinas baru, dengan kenaikan gaji dan tunjangan, dan masih banyak hal-hal yang tanpa mereka sadari menggali jurang kelas. Di sisi lain ada orang-orang putus asa karena putus sekolan, PHK, dan mengalami keputusasaan lain, setiap hari ‘dipaksa’ membaca berita-berita kesejahteraan "pendekar bangsa" yang berlebihan. Apakah ini tidak menyulut api kemarahan? Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan pada korban lumpur Lapindo yang ganti ruginya belum kelar, yang dari tadinya juragan tanah tahu-tahu jadi buruh tani, tapi sang penanggung justru menyumbangkan uang bermilyar-milyar ke partai politik. Mungkin jika saya yang mengalami itu, saya akan meledakkan diri bersama manusia-manusia culas yang bertanggung jawab atas ketidakadilan yang menimpa negeri ini. Saya sedih, marah, kecewa, heran, gumun, dan tertawa getir.

"Mas, eling.. Sadar.. Kok njenengan ngguyu, ketawa sendiri? Apa lupa minum obatnya, Mas?", tahu-tahu Sastro sudah di depan saya. "Hus, ceriwis kamu. Mana beer-nya? Sana dibuka, sama es yang banyak biar tidak panas, sudah otak panas masih kena global warming, bisa mendidih kita nanti" Beberapa menit kemudian Sastro datang, membawa 2 gelas besar berisi es batu, dan 1 kaleng beer lokal. Di meja dia juga menaruh setengah bungkus rokok kretek filter. "Lho? Kok 1 kaleng ‘Tro? Lah, kan biasane dapet 1 botol besar? Trus masih dapet 1/2 bungkus rokok? Apa naik semua?" "Iya Mas, beer sekaleng jadi 15 ribu dan rokok setengah bungkus jadi 4 ribu, kembaliannya seribu saya belikan rokok juga, tapi udah saya hisap dalam perjalanan pulang" Gandrik, kok begini? Wah, makin tidak sejahtera saja. Tahun baru kemarin saya dengan 20 ribu bisa dapat 1 botol beer besar, rokok sebungkus dan sedikit penganan gorengan. Kok tahun ini duit saya makin tidak berharga? Apa ini yang dinamakan sejahtera? Apa ini yang dianggap kemajuan? Terus apa yang musti dirayakan? Perayaan menuju apa? Buat apa baru, kalau justru lebih buruk dari yang lama?

Pandangan saya kosong, dan Sastro sibuk menakar 1 kaleng beer supaya bisa dibagi 2 seadil-adilnya. Satu jam lagi tahun baru 2010, dan saya meneguk beer encer yang bercampur air karena kebanyakan es. Saya lihat Sastro tetep madhep mantep, optimis terhadap tahun baru, tanpa beban, mereguk beer dan menghisap rokoknya, menatap pesta kembang api yang diselenggarakan Hotel Hyatt di selatan rumah kami. Selamat Tahun Baru … Walaupun berat, kami tetap harus menyambutmu setahun sekali.

cerita sastro yang lain: http://www.kompasiana.com/tag/sastro/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun