Mohon tunggu...
Daniel Fransisco Silitonga
Daniel Fransisco Silitonga Mohon Tunggu... Guru - Coach

Pendidikan Kepelatihan Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Bola

Jika Polisi Tidak Menembakkan Gas Air Mata

5 Oktober 2022   11:11 Diperbarui: 5 Oktober 2022   11:26 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tragedi di Stadion Kanjuruhan Malang usai pertandingan Arema Vs Persebaya pada Sabtu, 1 Oktober 2022 menyita perhatian seluruh pecinta sepakbola dunia. Bagaimana tidak, tragedi itu menewaskan 131 jiwa dan 33 diantaranya adalah anak-anak. Bukan hanya itu, 330 orang lainnya dinyatakan mengalami luka-luka. Mengerikan!

Kejadian ini merupakan salah satu tragedi terbesar di dunia sepakbola setelah tragedi Estadio Nacional tahun 1964 yang memakan korban 328 jiwa. Kejadiannya hampir sama, pitch invasion. Bedanya kejadian pertandingan antara Peru versus Argentina itu disebabkan oleh kekecewaan suporter terhadap kepemimpinan wasit. Fans tuan rumah turun kelapangan lalu Polisi menembakkan gas air mata yang menyebabkan kerusuhan semakin parah.

Kejadian di Kanjuruhan disebabkan oleh suporter yang kecewa terhadap pemain  Arema atas kekalahan 2-3 melawan "rival Jawa Timur" yaitu Persebaya. Polisipun akhirnya menembakkan gas air mata yang menyebabkan hampir 40.000 penonton yang ada di dalam stadion itu berdesakan untuk menyelamatkan diri.

Mengutip dokumen FIFA Stadium Safety and Security Pasal 19 Nomor b tentang larangan membawa dan menggunakan senjata api atau gas pengendali masa, polisi tentu salah, meskipun Kapolda Jatim Irjen Nico Afinta mengatakan penggunaannya sudah sesuai prosedur. 

Polisipun pada akhirnya terpojokkan, terlihat dari perbincangan di sosial media dimana ada banyak yang menyayangkan keputusan polisi untuk menembakkan gas air mata. Benarkah polisi yang harus bertanggung jawab penuh atas kejadian ini?

Kalimat "Ini tanggung jawab Bersama" sudah bosan kita dengar jika ada kejadian mengerikan di sepakbola kita. "Evaluasi" apalagi. Belum lagi Najwa Shihab dengan "PSSI Bisa Apa?" nya yang membuka segala kekurangan PSSI dan sepakbolanya. 

Yang paling lucu adalah suporter-suporter klub yang selain membuat aksi solidaritas dengan doa atau menghidupkan lilin, juga memojokkan PSSI dan Kepolisian. Lucu, karena sibuk mengevaluasi PSSI dan Polisi, tapi minim evaluasi diri. Menyayangkan tembakan gas air mata, tapi tidak untuk Pitch Invasionnya.

Tidak mengurangi rasa hormat terhadap korban dan keluarganya, lantas bagaimana seandainya Polisi tidak menembakkan gas air mata malam itu?  Tidak ada yang tahu.

Melihat ribuan supporter yang turun kelapangan seperti video yang beredar, mungkin tetap akan ada korban, tapi tidak sebanyak itu, polisi akan jadi sasaran seperti kejadian biasanya, Arema sudah pasti akan dihukum, Liga 1 akan terus bergulir seperti tidak ada kejadian yang luar biasa serta potensi kejadian Pitch Invasion akan jadi hal yang lumrah,   dan masih banyak kemungkinan lainnya.

Jika ditarik lebih kebelakang lagi, bagaimana seandainya Aremania tidak turun kelapangan, dan meninggalkan stadion dengan tertib sekalipun kecewa karena timnya kalah? Tentu tragedi ini tidak akan terjadi. Tapi bisakah? Apalagi ini Derby!

Suporter Indonesia memang belum cukup dewasa. Melempar botol kelapangan, memaki wasit, menyerang pemain lawan menjadi kebiasaan buruk yang sudah melekat. Hampir tiap minggu Komisi Disiplin PSSI menjatuhkan hukuman terhadap klub karena ulah suporternya. Tidak hanya di Liga 1, di Liga 2 juga terjadi hal serupa.

Kebiasaan untuk mendapatkan prestasi instan juga menjadi karakter yang khas bagi suporter di Indonesia. Itu terlihat dari banyaknya pelatih yang dipecat di awal musim kompetisi. Seperti di Liga 1 tahun ini. 

Baru pekan ke tujuh, sudah 5 pelatih yang dipecat. Sampai pekan ke 11 dimana paruh musimpun belum, sudah ada 7 pelatih yang menjadi korban tuntutan instan para suporter. Ini lucu sekaligus mengerikan. Tidak pernah terjadi di kompetisi olahraga manapun di dunia ini.

Ekspresi kekecewaan yang salah terhadap tim yang didukung juga sering sekali justru membuat rugi suporter itu sendiri dan tim yang didukungnya. Contohnya, PSPS tidak lagi melanjutkan laga Home di Pekan baru, dan memilih home base jauh dari Pekan baru akibat ulah suporternya yang merusak fasilitas stadion setelah PSPS kalah melawan PSMS. 

Persebaya harus memainkan 5 laga Home tanpa penonton juga karena ulah suporternya, dan masih banyak klub lagi yang terbebani akibat ulah suporter setelah mendapakan sanki dari Komdis PSSI termasuk sejumlah uang denda.  

Sudah keharusan suporter harus berbenah dari kejadian ini. Mendukung tim secara bijak. Nilai-nilai Olahraga seperti sportifitas dan respect bukan hanya harus dimiliki pemain melainkan suporter juga. Mengekpresikan kekecewaan tanpa merugikan orang lain apalagi sampai terjadi tragedi. Berpikir rasional, kalau-kalau membuat kerusuhan, klub yang didukung akan mendapat hukuman. Pada akhirnya bukan lagi mendukung, tapi membebani klub.

Biarlah tragedi ini menjadi tamparan keras untuk para "suporter rusuh" yang selamat dari berbagai tragedi, dan semoga para orangtua tidak membenci sepakbola. Wassalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun