Latar Belakang
Baru-baru ini, isu mengenai kekerasan dalam rumah tangga mulai dibicarakan khalayak luas. Hal ini disebabkan oleh isu mengenai KDRT diangkat salah satu calon presiden dalam debat calon presiden yang mengangkat tema Pemerintahan, Hukum, HAM, Pemberantasan Korupsi, Penguatan Demokrasi, Peningkatan Layanan Publik dan Kerukunan Warga. Anies Baswedan, mengatakan pada saat pemaparan visi misinya bahwa pihak penegak hukum harus lebih ditingkatkan dalam menegakkan hukum yang ada. Ia menyoroti salah satu korban KDRT, yaitu Ibu Mega Suryani Dewi yang tewas dibunuh oleh suaminya, Nando pada September 2023. Sebenarnya korban telah melaporkan kasus KDRT ini ke pihak kepolisian pada Agustus 2023, namun sayangnya laporan tersebut tidak ditindaklanjuti polisi. Pembiaran yang dilakukan penegak hukum ini perlu diubah agar setiap korban mendapatkan haknya untuk mendapatkan perlindungan hukum.
Keluarga merupakan salah satu agen sosialisasi dan juga lingkup sosial yang paling kecil, yang terdiri dari orang tua dan anak. Keluarga dianggap sebagai sebuah ranah privat dimana peran negara cukup kecil di dalam keluarga. Dalam sebuah keluarga tentu memiliki berbagai dinamika yang beragam dalam perkembangannya. Beberapa dinamika tersebut tidak jarang yang berujung konflik dan juga Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Perempuan merupakan pihak yang banyak menjadi korban dari tindakan KDRT ini. Persentase kasus kekerasan berdasarkan data dari Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak pada tahun 2021 adalah 20,4% kekerasan terjadi pada laki-laki dan 79,6% terhadap perempuan (Alimi & Nurwati, 2021).
Indonesia secara hukum telah memiliki peraturan yang mengatur mengenai KDRT. Adapun peraturan tersebut diatur dalam UU No 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Dalam UU ini secara tegas dijelaskan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan. Dengan demikian, adanya UU Penghapusan KDRT merupakan jaminan dari negara untuk hadir dalam ranah pribadi masyarakat, secara khusus untuk mencegah terjadinya KDRT, menindak pelaku, dan melindungi korban (Yuniarti, 2020).
Undang-Undang PKDRT dalam pembentukannya memiliki sejarah yang panjang. Undang-Undang ini lahir dari kerja keras berbagai elemen masyarakat yang memperjuangkannya selama bertahun-tahun, yaitu sejak tahun 90an. Awalnya regulasi mengenai kekerasan terhadap perempuan diatur dalam UU Nomor 7 tahun 1984 sebagai ratifikasi dari Convention of All Form of Discrimination Against Women (CEDAW). Tetapi dalam perkembangannya, masih banyak opresi dan ketidakadilan yang diterima oleh perempuan. Dalam hal ini, berbagai perjuangan dilakukan oleh aktivis perempuan untuk membentuk UU KDRT. LBH-Apik merupakan pihak terdepan, yang juga banyak dibantu oleh Jaringan Kerja Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (Jangka PKTP) (Khairani. 2021). Hal ini sesuai dengan feminist legal theory dimana perempuan memiliki pandangan bahwa mereka mengalami ketidakadilan karena gendernya dan berupaya untuk menghapuskan hal tersebut dengan meningkatkan otonomi perempuan dan advokasi hak-hak perempuan. Pemikir teori ini melihat bahwa jika sebuah instrumen hukum dibangun dari perspektif laki-laki saja maka akan membuat perempuan terus termarginalkan (Levit & Verchick, 2016)
Implementasi UU PKDRT
UU PKDRT sudah berjalan selama hampir 20 tahun, tetapi tindakan kekerasan dalam rumah tangga masih tidak kunjung mengalami penurunan yang signifikan. Data dari Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2022-2023 terdapat 2098 pengaduan kekerasan di ranah personal ke Komnas Perempuan. Dimana kekerasan personal tersebut termasuk kekerasan dalam hubungan pasangan (Komnas Perempuan, 2023). Banyaknya laporan ini menunjukan bahwa perempuan masih terancam keamanannya, bahkan di ruang paling aman --keluarga. Kehidupan berumah tangga yang seharusnya saling melindungi justru terjadi sebaliknya dengan melihat maraknya kekerasan dalam rumah tangga. Peran negara dalam masalah ini perlu dilihat lebih dalam dimana negara memiliki kewajiban untuk menjaga dan melindungi korban dan juga mencegah adanya kekerasan dalam rumah tangga.
Budaya Patriarki yang Masih Mengakar
Budaya patriarki yang masih sangat kuat di Indonesia merupakan salah satu penyebab sulitnya menyelesaikan masalah KDRT di Indonesia. Adanya pemikiran yang menempatkan laki-laki sebagai pihak yang lebih dominan dalam rumah tangga merupakan faktor terjadinya kekerasan yang dialami istri. Suami dianggap memiliki kekuatan lebih dibanding istri sehingga dapat melakukan apa saja. Kekuatan ini dapat berupa kekuatan ekonomi --dimana suami memiliki peran untuk mencari nafkah--, dan fisik.Hal ini sesuai dengan teori politik perbedaan budaya dimana orang --perempuan-- tidak dapat mengekspresikan dirinya secara bebas sebagaimana yang diinginkan karena adanya ketidakadilan struktural yang disebabkan oleh budaya.