Mohon tunggu...
Daniel Pareaktua Putra
Daniel Pareaktua Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia

Seorang mahasiswa yang memiliki cita-cita besar untuk mengabdi kepada negara melalui tulisan dan aksi nyata

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Isu KDRT dalam Debat Capres 2024: Bagaimana Efektivitas UU 23 Tahun 2004?

20 Desember 2023   20:13 Diperbarui: 20 Desember 2023   20:13 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Debat Pertama Capres 2024 (Sumber: CNBC)

Latar Belakang

Baru-baru ini, isu mengenai kekerasan dalam rumah tangga mulai dibicarakan khalayak luas. Hal ini disebabkan oleh isu mengenai KDRT diangkat salah satu calon presiden dalam debat calon presiden yang mengangkat tema Pemerintahan, Hukum, HAM, Pemberantasan Korupsi, Penguatan Demokrasi, Peningkatan Layanan Publik dan Kerukunan Warga. Anies Baswedan, mengatakan pada saat pemaparan visi misinya bahwa pihak penegak hukum harus lebih ditingkatkan dalam menegakkan hukum yang ada. Ia menyoroti salah satu korban KDRT, yaitu Ibu Mega Suryani Dewi yang tewas dibunuh oleh suaminya, Nando pada September 2023. Sebenarnya korban telah melaporkan kasus KDRT ini ke pihak kepolisian pada Agustus 2023, namun sayangnya laporan tersebut tidak ditindaklanjuti polisi. Pembiaran yang dilakukan penegak hukum ini perlu diubah agar setiap korban mendapatkan haknya untuk mendapatkan perlindungan hukum.

Keluarga merupakan salah satu agen sosialisasi dan juga lingkup sosial yang paling kecil, yang terdiri dari orang tua dan anak. Keluarga dianggap sebagai sebuah ranah privat dimana peran negara cukup kecil di dalam keluarga. Dalam sebuah keluarga tentu memiliki berbagai dinamika yang beragam dalam perkembangannya. Beberapa dinamika tersebut tidak jarang yang berujung konflik dan juga Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Perempuan merupakan pihak yang banyak menjadi korban dari tindakan KDRT ini. Persentase kasus kekerasan berdasarkan data dari Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak pada tahun 2021 adalah 20,4% kekerasan terjadi pada laki-laki dan 79,6% terhadap perempuan (Alimi & Nurwati, 2021).

Indonesia secara hukum telah memiliki peraturan yang mengatur mengenai KDRT. Adapun peraturan tersebut diatur dalam UU No 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Dalam UU ini secara tegas dijelaskan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan. Dengan demikian, adanya UU Penghapusan KDRT merupakan jaminan dari negara untuk hadir dalam ranah pribadi masyarakat, secara khusus untuk mencegah terjadinya KDRT, menindak pelaku, dan melindungi korban (Yuniarti, 2020).

Undang-Undang PKDRT dalam pembentukannya memiliki sejarah yang panjang. Undang-Undang ini lahir dari kerja keras berbagai elemen masyarakat yang memperjuangkannya selama bertahun-tahun, yaitu sejak tahun 90an. Awalnya regulasi mengenai kekerasan terhadap perempuan diatur dalam UU Nomor 7 tahun 1984 sebagai ratifikasi dari Convention of All Form of Discrimination Against Women (CEDAW). Tetapi dalam perkembangannya, masih banyak opresi dan ketidakadilan yang diterima oleh perempuan. Dalam hal ini, berbagai perjuangan dilakukan oleh aktivis perempuan untuk membentuk UU KDRT. LBH-Apik merupakan pihak terdepan, yang juga banyak dibantu oleh Jaringan Kerja Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (Jangka PKTP) (Khairani. 2021). Hal ini sesuai dengan feminist legal theory dimana perempuan memiliki pandangan bahwa mereka mengalami ketidakadilan karena gendernya dan berupaya untuk menghapuskan hal tersebut dengan meningkatkan otonomi perempuan dan advokasi hak-hak perempuan. Pemikir teori ini melihat bahwa jika sebuah instrumen hukum dibangun dari perspektif laki-laki saja maka akan membuat perempuan terus termarginalkan (Levit & Verchick, 2016)

Implementasi UU PKDRT

UU PKDRT sudah berjalan selama hampir 20 tahun, tetapi tindakan kekerasan dalam rumah tangga masih tidak kunjung mengalami penurunan yang signifikan. Data dari Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2022-2023 terdapat 2098 pengaduan kekerasan di ranah personal ke Komnas Perempuan. Dimana kekerasan personal tersebut termasuk kekerasan dalam hubungan pasangan (Komnas Perempuan, 2023). Banyaknya laporan ini menunjukan bahwa perempuan masih terancam keamanannya, bahkan di ruang paling aman --keluarga. Kehidupan berumah tangga yang seharusnya saling melindungi justru terjadi sebaliknya dengan melihat maraknya kekerasan dalam rumah tangga. Peran negara dalam masalah ini perlu dilihat lebih dalam dimana negara memiliki kewajiban untuk menjaga dan melindungi korban dan juga mencegah adanya kekerasan dalam rumah tangga.

Data Kekerasan Personal dalam Hubungan Selama 2022-2023 (Sumber: databoks)
Data Kekerasan Personal dalam Hubungan Selama 2022-2023 (Sumber: databoks)

Budaya Patriarki yang Masih Mengakar

Budaya patriarki yang masih sangat kuat di Indonesia merupakan salah satu penyebab sulitnya menyelesaikan masalah KDRT di Indonesia. Adanya pemikiran yang menempatkan laki-laki sebagai pihak yang lebih dominan dalam rumah tangga merupakan faktor terjadinya kekerasan yang dialami istri. Suami dianggap memiliki kekuatan lebih dibanding istri sehingga dapat melakukan apa saja. Kekuatan ini dapat berupa kekuatan ekonomi --dimana suami memiliki peran untuk mencari nafkah--, dan fisik.Hal ini sesuai dengan teori politik perbedaan budaya dimana orang --perempuan-- tidak dapat mengekspresikan dirinya secara bebas sebagaimana yang diinginkan karena adanya ketidakadilan struktural yang disebabkan oleh budaya.

Adanya budaya patriarki yang mengakar juga mempengaruhi pemerintah yang berperan untuk menjaga hak dan keamanan dari korban. Kepolisian, yang merupakan pihak yang memiliki wewenang untuk melakukan penindakan hukum seringkali absen terhadap masalah-masalah yang bersifat "domestik" seperti KDRT ini. Seperti kasus Ibu Mega yang disebutkan dalam debat capres, dapat dilihat bahwa pihak polisi tidak terlalu aktif dalam menyelesaikan kasus domestic violence. 

Dari segi peraturan sendiri, pemerintah juga masih memiliki berbagai regulasi yang dianggap bias gender, seperti Pasal 106 KUHPerdata yang menyatakan dimana istri harus tunduk dan patuh terhadap suami. Selain itu dalam UU Perkawinan juga menyatakan bahwa suami merupakan kepala rumah tangga. Peraturan-peraturan yang bias gender seperti ini harus segera diubah untuk memberikan rasa aman bagi perempuan dalam ranah domestik.

Budaya patriarki akhirnya membentuk sifat-sifat inferior dari perempuan. contohnya banyak perempuan yang akhirnya mencabut laporan KDRT karena alasan seperti tidak tega suaminya ditahan, tidak ada lagi pencari nafkah, menjaga nama baik keluarga, dan alasan-alasan lainnya. Masyarakat sendiri juga terdampak terhadap budaya ini, sehingga cenderung memojokkan perempuan yang menjadi korban KDRT. Masyarakat tidak jarang menuduh korban sebagai penyebab terjadinya kekerasan dan juga menyalahkan sikap korban yang melapor suaminya ke polisi. Berbagai tindakan masyarakat yang terpengaruh budaya patriarki ini menyebabkan KDRT masih banyak terjadi di Indonesia

Solusi dan Prospek Perbaikan 

Nancy Fraser, seorang pemikir feminis liberal kontemporer menyatakan bahwa untuk menghilangkan ketidakadilan budaya berupa tidak adanya pengakuan dan penghormatan dalam kehidupan sehari-hari, diperlukan rekognisi atau pengakuan melalui berbagai kebijakan atau tindakan-tindakan.

Melihat masih belum teratasinya masalah KDRT di Indonesia, perlu ada solusi untuk mengatasi masalah ini. Kesadaran masyarakat merupakan hal pertama yang harus ditingkatkan dalam upaya pencegahan kasus KDRT. Hal ini sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 15 UU No 23 Tahun 2004 yang berisi "yang dapat melaporkan adalah setiap orang yang mendengar, melihat atau mengetahui terjadinya KDRT wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya..". Peran masyarakat sekitar cukup penting untuk membantu korban KDRT mendapatkan keadilannya.

Aparat selaku penegak hukum juga perlu memiliki perbaikan ke depannya untuk mengatasi permasalahan KDRT ini. Salah satu solusinya adalah dengan memperbanyak polisi perempuan yang bertugas untuk menerima aduan kasus KDRT. Setiap kantor polisi wajib memiliki pos aduan kasus KDRT yang diurus oleh polisi perempuan agar korban dapat lebih aman dalam membuat laporan tanpa adanya intimidasi yang biasa dilakukan oleh polisi laki-laki dalam menerima laporan. Anggota kepolisian juga perlu mendapatkan pelatihan untuk mengatasi kasus KDRT agar lebih peka dalam menerima kasus yang bersifat domestik. 

Kebijakan-kebijakan yang tidak bias gender sangat diperlukan untuk mengatasi kasus KDRT yang sering dialami oleh perempuan. 

Adanya kerja sama yang terjalin antara masyarakat dan pemerintah merupakan solusi yang baik untuk menangani kasus KDRT yang masih marak terjadi. Pemerintah dapat melakukan kerja sama dengan berbagai organisasi perempuan untuk membantu pemerintah dalam hal sosialisasi kepada masyarakat mengenai isu ini. Sama halnya dengan proses pembentukan UU No 23 Tahun 2004, peran aktivis perempuan dalam berbagai organisasi non-pemerintah sangat diperlukan untuk memperkuat implementasi dari UU No 23 Tahun 2004 ini. 

Kesimpulan

Isu mengenai KDRT mulai kembali naik di publik saat menjadi salah satu topik dalam pemaparan visi salah satu calon presiden dalam debat capres beberapa waktu yang lalu. Secara regulasi, masalah KDRT sudah diatur dalam UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Namun, alih-alih mengalami penurunan, kasus KDRT justru mengalami peningkatan setelah hampir 20 tahun undang-undang tersebut disahkan. Budaya patriarki yang masih mengakar memengaruhi masyarakat dan aparat penegak hukum dalam upaya mengurangi kasus KDRT ini. 

Diperlukan pengakuan atau rekognisi, berupa tindakan dan regulasi untuk mengatasi permasalahan kasus ini. Masyarakat dan pemerintah harus terus melakukan aksi kolaboratif agar kasus kekerasan dalam rumah tangga dapat dicegah dan hak korban dapat terjamin.

Referensi

Alimi, R., & Nurwati, N. (2021). Faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan. Jurnal Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (JPPM), 2(1), 20-27.

Khairani. (2021). Pembentukan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Urgensinya Untuk Ketahanan Keluarga. LEMBAGA KAJIAN KONSTITUSI INDONESIA (LKKI) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Komnas Ham. (2023). Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2023 Kekerasan terhadap Perempuan di Ranah Publik dan Negara: Minimnya Pelindungan dan Pemulihan. https://komnasperempuan.go.id/download-file/949

Levit, N., & Verchick, R. R. (2016). Feminist legal theory: A primer (Vol. 74). NYU Press.

Yuniarti, N. (2020). UPAYA PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) MELALUI UNDANG-UNDANG. Wawasan: Jurnal Kediklatan Balai Diklat Keagamaan Jakarta, 1(2), 60-71.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun