Mohon tunggu...
Daniel SetyoWibowo
Daniel SetyoWibowo Mohon Tunggu... Tutor - Tutor kelompok belajar anak-anak

Seorang warga negara Indonesia yang mau sadar akan kewarganegaraan dengan segala ragam budaya, agama, aliran politik, sejarah, pertanian / kemaritiman tetapi dipersatukan dalam semangat nasib dan "imagined communities" yang sama Indonesia tetapi sekaligus menjadi warga satu bumi yang sama.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

(Tinjauan Buku) Prinsip Kesiapsiagaan, Agustinus: Hubungan Jiwa-Badan

28 Agustus 2019   12:30 Diperbarui: 28 Agustus 2019   12:36 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Noli foras ire, in te ipsum redi; in interiore homine habitat veritas. Et si tuam naturam mutabilem inveneris, transcenae te ipsum" (Hendaknya jangan pergi ke luar; berpalinglah memasuki dirimu sendiri, manusia batiniah adalah tempat tinggal kebenaran. Dan, jikalau engkau telah menemukan kodratmu yang dapat berubah maka naiklah mengatasi dirimu sendiri). St. Agustinus.

Hari ini, Gereja memperingati St. Agustinus (354-430) atau Agustinus dari Hippo (Nama Latin : Aurelius Augustinus Hipponensis), seorang Doctor gratiae (Doktor Anugerah) dan salah seorang Bapa Gereja terpenting. Ia filosof cum teolog besar yang karya-karyanya sangat berpengaruh pada Kekristenan Barat bahkan hingga hari ini. 

Hidup Uskup Hippo ini, pada awalnya ugal-ugalan dan urakan, tetapi karena hidup dan doa tak henti-hentinya dari ibunya Santa Monika, maka hidup Agustinus mengalami pertobatan yang luar biasa. Tulisan ini diturunkan untuk ikut memperingati dan mencoba memahami apa yang menyemangati sosok Agustinus dari dalam guna mengambil pelajaran hidup dari tokoh ini.

Apa tujuan hidup dan bagaimana menjalaninya agar sampai pada tujuan itu? Apa hambatan-hambatannya dan bagaimana mengatasinya ? Bagaimana kita bisa mengenal diri serta kecenderungan-kecenderungannya? Dan, bagaimana kita bisa mengenal kebaikan tertinggi dan tak terbatas, Tuhan Allah? Dan, bagaimana kita menuju kepada-Nya, dan dengan demikian kita bahagia?

Semua pertanyaan itu sudah bisa menjadi ratio sufficiens (dasar yang cukup) untuk memahami hubungan jiwa dan badan manusia. Pastor Jacques Veuger MSF mengetengahkan hubungan itu dari perspektif pandangan St. Agustinus dengan sangat meyakinkan dalam buku Hubungan Jiwa-Badan menurut St. Agustinus ini.

Ada beberapa alasan mengapa penjelasan Pastor Tarekat Keluarga Kudus (MSF) ini meyakinkan. Pertama, penghayatan yang sangat besar dan menjadi semacam "keyakinan" dari apa yang menjadi minatnya, apa yang dipelajarinya, apa yang diajarkan, dan apa yang menjadi 'peta' untuk lakunya. 

Ini terasa sekali tidak hanya dari kesaksian misalnya YR. Mulyono MSF (provinsialnya) dalam "Kata Pengantar" terhadap hidup pribadi Jacques Veuger yang suka akan ketelitian, kedisiplinan, dan ketekunan. Tapi, juga terlebih ketika kita membaca isi buku ini termasuk catatan-catatan dan kepustakaan dengan komentar-komentarnya. Ini menandakan bahwa beliau (almarhum) sangat memahami seluk beluk pemikiran St. Agustinus, termasuk konsekuensi-konsekuensinya.

Kedua, argumentasi-argumentasi yang dibangun menggunakan penalaran-penalaran yang taat azas sehingga terkesan ketat. Kadang kita seperti membaca St. Agustinus sendiri. Agustinus dalam Jacques Veuger. Ia tidak mengembara ke mana-mana meskipun tema yang disampaikan banyak dan beragam. Yang satu berkaitan dengan yang lain. Dan, kaitan itu sangat jelas entah berupa kausalitas, finalitas, relasionalitas, analogi, deduktif, atau biblis (mengacu pada Kitab Suci).

Di samping itu, definisi-definisi yang dipakai untuk membangun argumentasi-argumentasinya sangat jelas dan terpilah (clara et distincta). Ini penting karena ini menghindarkan diri dari tautologi (penjelasan yang muter-muter) atau mendefinisikan dengan sinonimnya tanpa memerinci lebih detail agar membedakan dengan sesuatu yang mirip tetapi lain.

Di sini kita mengenal apa itu voluntas (kehendak), keinginan, keangkuhan, badan, jiwa, dorongan-dorongan hati, hasrat, mens (akal budi), notitia (pengertian, pengenalan), amor (cinta), memoria sui (ingatan akan dirinya sendiri), memoria Dei (ingatan akan Allah), intelligentia (pengertian, pemahaman), kesiapsiagaan jiwa, dan keaktifan jiwa. Kita juga diperkenalkan dengan jelas dan terpilah tentang apa itu virtutes cardinales (keutamaan-keutamaan pokok) seperti temperantia (pengendalian diri), fortitudo (kegagahan/keberanian), justitia (keadilan), dan prudentia (kebijaksanaan)

Ketiga, buku ini adalah pustaka teologi. Teologi itu sendiri adalah refleksi atas iman. Jadi, pembaca buku ini diharapkan bukan seperti buku filsafat, sastra, sejarah, novel, atau ensiklopedia. Jadi, titik tolaknya adalah refleksi atas iman itu sendiri. Iman yang ditanamkan Tuhan di dalam hati kita itulah yang kita refleksikan. Lalu, kita dalam hal ini dituntut untuk mempertanggungjawabkan iman itu dalam dialog dengan tantangan-tantangan zaman dewasa ini.

Meskipun demikian, iman yang direfleksikan itu bukan hanya masalah refleksi iman pribadi seseorang yang kemudian menjadi tokoh Gereja dan yang kemudian dibagikan kepada kita, tetapi refleksi itu sudah diperiksa oleh wewenang Gereja. Nihil Obstat oleh F. Hartono, SJ. Artinya, "tidak ada yang menghalangi". 

Dengan mencantumkan ini, berarti buku ini telah diperiksa oleh Gereja dan dalam buku ini tidak ada ajaran yang menyimpang. Stempel Nihil Obstat itu sendiri bukan sekedar ijin dari yang berwenang, tetapi juga menunjukkan tulisan itu terbuka untuk diuji dan diperiksa oleh jemaat Gereja. Bisa juga hal ini dimaknai refleksi iman pribadi tidak terlepas dalam iman Gereja. Karena itu, buku ini meyakinkan.

dokpri
dokpri
Polemik
Isi buku ini mengetengahkan hubungan antara jiwa dan badan. Sesuatu yang sering menjadi polemik sejak dulu, yang sebenarnya suatu usaha untuk menjelaskan pertanyaan siapakah manusia itu. Dengan membedakan dua substansi, yaitu jiwa dan badan dan keunggulan jiwa atas badan manusia seakan-akan bukanlah satu kesatuan. Hubungan keduanya, kemudian bisa disebut sebagai hubungan relasional.

Benda apakah yang disebut jiwa itu? Yang jelas, ia bukan entitas benda yang dibatasi dalam dimensi ruang (panjang, lebar, dan tinggi), meskipun ia itu substansi. "Pada  hemat saya, jiwa adalah semacam substansi berakal budi yang dipersiapkan untuk mengemudikan badan," kata St. Agustinus.

Lantas, bagaimana membuktikan kehadiran jiwa itu? Agustinus memakai analisis kehadiran jiwa, yang saat kini bisa disebut sebagai analisis refleksif. Analisis ini untuk menentukan syarat-syarat kemungkinan gejala-gejala kesadaran yang kita alami. Analisis itu bermuara dalam suatu prinsip mengenai pengenalan dirinya sendiri yang praktis.

Prinsip itu mengatakan bahwa jiwa yang mengetahui bahwa ia suatu akal budi yang ada dan hidup, langsung mampu mengetahui ia adalah apa dan ia tidak adalah apa, karena ia pasti adalah apa yang diketahuinya ia ada, dan ia pasti tidak adalah apa yang tidak diketahuinya ia ada. (hal. 25)

Dari mana orang tahu bahwa ia hidup ? Siapakah yang dapat meragukan bahwa ia hidup, mengingat, mengerti, menghendaki, berpikir, mengetahui, dan memutuskan ? Kalaupun ia meragukan ini, ia hidup; ia mengingat mengapa ia ragu-ragu; ia mengerti bahwa ia ragu-ragu; ia ingin mencapai kepastian; ia berpikir; ia mengetahui bahwa ia tidak mengetahui; ia memutuskan bahwa ia tidak boleh begitu saja menyetujui.

Dari hal-hal seperti itu, Agustinus menyimpulkan bahwa jiwa menginsafi mengenai dirinya sendiri bahwa ia lain dari pada segala sesuatu yang bendawi atau badani dan bahwa ia dengan pasti -- karena kehadirannya yang batiniah kepada dirinya sendiri -- mengenal dirinya sebagai suatu substansi yang menginsafi, bahwa ia hidup, bahwa ia mengingat, mengerti, dan menghendaki.

"Pada  hemat saya, jiwa adalah semacam substansi berakal budi yang dipersiapkan untuk mengemudikan badan," kata St. Agustinus.

Kesiapsiagaan
Kalau kita memahami jiwa seperti di atas, lantas hubungan jiwa dan badan dimaknai sebagai suatu kehadiran yang sifatnya 'quadam vitali intentione', tersebar melalui semacam perhatian yang hidup. Itulah prinsip kesiapsiagaan. Contohnya, ketika kita disentuh dalam titik kecil di kulit kita. Sentuhan itu akan terasa oleh jiwa (non latet animam) sebagai keseluruhan.

Pengamatan tersebut adalah salah satu pendekatan gnoseologis, yaitu pengamatan indrawi. Pengamatan indrawi itu terjadi karena kesiapsiagaan jiwa dalam badan. 

Kita bisa melihat sesuatu bukan karena keaktifan badan (misalnya mata) yang diteruskan ke otak dan diterjemahkan apa sesuatu itu. Kita (bisa) melihat karena keaktifan jiwa yang memakai badan. Demikian pula dengan pengetahuan rasional adalah suatu keaktifan jiwa. Pendekatan ini bisa diteruskan ke soal-soal ontologi.

Dari pendekatan ontologi-gnoseologis ditampakkan kedudukan jiwa, yaitu di tengah-tengah. Artinya, di bawah Dia kepada siapa ia (jiwa) harus tunduk dan di atas apa terhadap mana ia harus diutamakan. Lebih konkrit lagi, jiwa menjadi pengantara antara Allah Pencipta dan badan untuk membuatnya mengambil bagian dalam ide-ide ilahi, yaitu memberi hidup, bentuk, dan keteraturan anggota-anggota yang membuat badan menjadi badan.

Kenyataan
Badan bukan kenyataan manusia sebenarnya dan badan dapat dan akan mati. Jiwalah yang menjadi kenyataan manusia yang sebenarnya. Ia sadar kehadirannya kepada dirinya sendiri. Di situlah bersemayam kebenaran-kebenaran yang tidak terkalahkan oleh kekeliruan dan tidak dapat tidak ada di dalam jiwa, karena langsung mengungkapkan keberadaan jiwa sebagai nyata bagi dirinya sendiri.

Dari pemikiran ini, lantas kita memahami bukan hanya rasio, tetapi terutama apa dan bagaimana kehendak bekerja dan berfungsi. Ia berfungsi dalam hal dorongan hati atau renjana jiwa. Dikenal ada empat dorongan itu, yakni cupiditas (keinginan), timor (ketakutan), laetitia (sukacita), dan tristitia (dukacita). Keempat dorongan hati itu sendiri digerakkan dari dalam oleh amor atau cinta fundamental.

Sedangkan amor itu terarah pada dua hal, yaitu kepada Allah berupa amor Dei atau kepada dirinya sendiri atau duniawi berupa amor sui. Keterarahan amor ini tidak bisa lepas dari kondisi manusia yang berada dalam dosa asal. Dua jenis amor ini juga tidak bisa berjalan bersama : mencintai Allah sekaligus mencintai kenikmatan duniawi. Keduanya bertentangan. Untuk mencapai kesempurnaan, amor Dei harus menyesuaikan dan sama sekali mengatasi amor sui sedemikian rupa sehingga "amor Dei usque ad contemptum sui" : cinta kepada Allah yang sampai penghinaan diri.

Sebaliknya, amor sui akan melawan dan mengatasi Amor Dei sedemikian rupa sehingga "amor Dei usque ad contemptum Dei" : cinta diri yang sampai penghinaan akan Allah.

Dalam dua bentuk amor itu menghasilkan dua bentuk kehendak, yakni recta voluntas (kehendak lurus), yakni diarahkan oleh bonus amor (cinta yang baik) dan voluntas peversa (kehendak jahat) yakni diarahkan oleh malus amor (cinta yang jahat).

Kedua kehendak itu juga akan menimbulkan dua cara hidup, yaitu cara hidup yang mengarahkan segala sesuatu yang kita lakukan menuju kepada Allah dan cara hidup sebaliknya, yaitu menjauhkan kita dari Allah.

Menurut Kitab Suci, kedua cara hidup itu adalah keinginan menurut Roh dan keinginan daging. Hidup menurut keinginan daging adalah mencari kenikmatan jasmani, tetapi juga berarti melakukan hal-hal yang menampakkan kejahatan jiwa.

Keinginan Daging
Keinginan daging ini menuju kemerosotan badan. Maksudnya, bukan badan yang membuat jiwa menjadi pendosa, melainkan jiwa yang berdosa yang membuat badan bisa menjadi merosot. Dosa yang utama adalah keangkuhan dan kedengkian yang merupakan kedustaan setan dan yang dituruti oleh manusia serta membuatnya jatuh ke dalam kedustaan, keangkuhan, dan cinta diri.

Penilaian terhadap badan sendiri, haruslah ditempatkan dalam konteks pengendalian dorongan-dorongan hati dan hasrat-hasrat, kewaspadaan terhadap godaan-godaan jasmani dan bendawi dan sikap menjauhkan diri dari dunia.

Selain gerak ke bawah karena dosa, jiwa juga bisa bergerak ke atas menuju Allah. Ada beberapa pandangan atas ini di antaranya menurut tulisan Agustinus De quantitate animae, terdiri dari tujuh jenjang. 

Jenjang 1 penjiwaan berupa tatanan kodrat; jenjang 2 pengamatan indrawi, yaitu keaktifan jiwa dalam badan; jenjang 3 ilmu dan seni, yaitu tingkat manusia yang mengatasi tumbuhan dan binatang; jenjang 4 penyucian, yaitu jiwa membedakan dan memilih yang baik dan yang tidak baik; jenjang 5 penerangan, yaitu jiwa menyadari kebesarannya dan dengan penuh kepercayaan mengarahkan dirinya menuju Allah dan mengarahkan pandangan (contemplatio) pada kebenaran; jenjang 6 pandangan, yakni jiwa dalam keaktifannya mengenal dan memahami apa yang ada dalam arti yang paling tinggi dan sebenar-benarnya; jenjang 7 kebahagiaan, yakni jiwa mencapai pandangan (visio et contemplatio) kebenaran.

 Keinginan daging ini menuju kemerosotan badan. Maksudnya, bukan badan yang membuat jiwa menjadi pendosa, melainkan jiwa yang berdosa yang membuat badan bisa menjadi merosot. Dosa yang utama adalah keangkuhan dan kedengkian yang merupakan kedustaan setan dan yang dituruti oleh manusia serta membuatnya jatuh ke dalam kedustaan, keangkuhan, dan cinta diri.

Lukisan kaca patri Santo Agustinus dan Santa Monika (Sumber : https://sdb.or.id )
Lukisan kaca patri Santo Agustinus dan Santa Monika (Sumber : https://sdb.or.id )

Perjalanan Jiwa
Sementara perjalanan jiwa kepada Allah, menurut tulisan De sermone Domini in monte, Agustinus mendasarkan diri pada Sabda Bahagia yang membuka Khotbah Yesus di atas Bukit (Mat 5 : 3 -- 11). Selain itu, ada dua tulisan, yakni De doctrina christiana dan De civitate Dei juga dibahas perjalanan jiwa kepoada Allah.

Kesemuanya, menunjukkan hubungan jiwa dan badan itu dikagumi oleh Agustinus sebagai unio hypostatica kodrat jiwa dan kodrat badan di dalam kesatuan pribadi manusia dan dinikmati sebagai berasal dari kemurahan hati yang nirbatas Allah Pencipta serta menunjuk kepada anugerah Allah yang lebih besar lagi, yaitu unio hypostatica kodrat ilahi dan kodrat manusiawi di dalam kesatuan diri pribadi Tuhan kita Yesus Kristus.

Meyakinkan bukan ? Karena itu, hendaknya jangan pergi ke luar; berpalinglah memasuki dirimu sendiri, manusia batiniah adalah tempat tinggal kebenaran. Dan, jikalau engkau telah menemukan kodratmu yang dapat berubah maka naiklah mengatasi dirimu sendiri.

Selamat membaca (kembali).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun