"Harus diingat bahwa umur belajar itu singkat dan harus dipergunakan seluruhnya. Suram sekali kelihatnya nasib bangsa di kemudian hari bila pemuda hanya menjadi umpan peluru serta sekadar bebas dari buta huruf," tegas Onghokham.
"Harus diingat bahwa umur belajar itu singkat dan harus dipergunakan seluruhnya. Suram sekali kelihatnya nasib bangsa di kemudian hari bila pemuda hanya menjadi umpan peluru serta sekadar bebas dari buta huruf."
Komersialisasi Seni
Refleksi sejarah untuk mengenal diri sehingga memahami hubungan negara dan masyarakat, dapat pula diarahkan pada seni dan sisi historis. Onghokham juga membuat suatu refleksi yang menarik berjudul Proses Kesenian Indonesia Dari Masa ke Masa. Apa yang menyolok perkembangan seni ini adalah sifat komersialnya.Â
Dengan berkesenian, bukan hanya sekedar ekspresi diri, tetapi juga dapat keuntungan. Dan, tentunya bisa hidup dari kesenian itu. Komersialisasi kesenian tidak perlu dipandang negatif, tetapi justru positif. Ini memungkinkan perkembangan kesenian secara individual dan bahkan melepaskan diri dari tradisi dan juga dari patron-patron tradisionalnya. Dengan demikian kesenian Indonesia (dan senimannya) terkait dengan perkembangan kesenian dunia.
 Terlepas dari perkembangan itu, Onghokham mengingatkan tentang hubungan antara seni dan masyarakatnya. Seniman bukan semata-mata seorang pencipta seni, melainkan juga mengungkapkan apa yang hidup dalam masyarakatnya dan menyajikannya dalam lukisan-lukisan atau pementasan-pementasan. Seniman perlu berfungsi sebagai cendekiawan dalam masyarakat seperti halnya para penulis, akademisi, dan lain sebagainya.
Buku ini menarik dibaca karena di samping pengetahuan penulisnya yang luar biasa luas dengan analisanya yang imajinatif dan cermat ini, juga orisinalitas yang mencengangkan. Tidak jarang membaca buku ini kita tertampar, tetapi kita tidak segera menutup buku. Ini bukan karena gejala masokis yang senang disakiti karena merasa nikmat. Proses melihat diri, mengenal diri, refleksi diri memang tidak jarang melalui proses yang pahit dan sakit. Kita tetap meneruskan karena ada harapan di akhir nanti ada kebahagiaan dan bahkan penuh kebahagiaan.
 Ini lebih berharga ketimbang membaca buku atau artikel yang menyanjung-sanjung "kita" dan menjelek-jelekkan "mereka" yang bukan termasuk "kita" meski menjadi satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa, tidak peduli menebar kebohongan dan memanipulasi serta rekayasa fakta, sehingga kita terbuai dan lupa asal usul dan jati diri kita. Dan, pada akhirnya, kita jatuh ke jurang dan anehnya merasa itu pilihan kita sendiri.
Pada akhirnya, tamparan keras Onghokham ini akan bermanfaat bagi kita, bila kita mengolahnya. Tapi, hanya berupa tamparan belaka (dan sakit) bila kita tidak mengolahnya kembali. Jadi, .selamat membaca (kembali) dan mengolahnya.
Daniel Setyo Wibowo
*) Pernah dimuat dalam blog pribadi Â
Tanggal 13 Nov 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H