Onghokham melukiskan bahwa pada umumnya ketidaktentraman situasi Indonesia setelah penjajahan telah lebih memperenggangkan ikatan masyarakat peranakan dari pada membantu menempa solidaritas etniknya.Â
Sementara warisan kolonial tambah menimbulkan tanggapan tertentu. Semua ini memberi pesan pada pemuda Cina untuk mempersiapkan dirinya berdiri di atas kaki sendiri.Â
Warisan yang sama ini mengasingkan masyarakat peranakan dari politik Indonesia dari masalah-masalah sosialnya. Perjuangan untuk kelangsungan hidup pribadi sebaliknya lebih mendominasi orang-orang Cina dari permulaan abad ke-19.
Berbeda dengan orang-orang Cina, nasib rakyat Jelata (wong cilik) pada umumnya lebih buruk lagi berhadapan bukan hanya dengan VOC / Hindia Belanda, tetapi dengan para penguasa lokal. Sistem pajak yang mencekik mempermiskin pada 'sikep' (pemilik tanah) dengan 'pancasan' (pengurangan milik). Feodalisme sangat kuat; munculnya golongan perantara (tussenpersonen), 'palang', dan banyaknya manipulasi oleh penguasa-penguasa setempat.Â
Lalu, apa yang dikembangkan adalah konsep ratu adil, suatu ideologi anti-negara yang tidak ada kaitannya dengan anti kolonialisme ataupun nasionalisme. "Seringnya pemberontakan-pemberontakan dan popularitas konsep Ratu Adil menunjukkan adanya persoalan-persoalan fundamental dalam hubungan negara kolonial dan rakyat. Konsepsi Ratu Adil sendiri tentunya hanyalah suatu ilusi yang memuaskan perasaan-perasaan untuk bernegara, asal saja rajanya hanya dalam impian," tegas Onghokham.
 Lalu bagaimana dengan karakter para pembesar di Indonesia ? Dalam tulisannya Sejarah Pembesar di Indonesia, Onghokham menganalisis dan merefleksikan munculnya mesin birokrasi 'Beambtenstaat' (negara kepegawaian) yang tidak terlepas juga dari mental hubungan-hubungan pribadi, sistem feodal aparatur raja yang meliputi para priyayi dan orang kaya.
Pihak VOC bisa memanfatkan struktur feodalisme tersebut untuk kepentingan Tanam Paksa, sistem perkebunan kolonial dengan misalnya persen-persen Tanam Paksa (Kultur prcenten). Semua ini bisa terjadi karena munculnya kekuatan VOC di Jawa bukanlah karena kemenangan-kemenangan militer (penundukan dan pendudukan militer), tetapi karena perjanjian-perjanjian dengan keraton atau penguasa-penguasa daerah seperti bupati-bupati pesisir dan Priangan.Â
Jadi, dengan kinclongnya bandul kalung emas yang mengkilap saja, penguasa-penguasa kita (patron-patron) akan 'ngiler' dan membuat perjanjian-perjanjian yang merugikan rakyat. Terintegrasinya penguasa-penguasa Indonesia baik yang bersifat lokal (bupati) atau pusat (keraton) dengan kekuasaan Belanda inilah yang menjadi bibit-bibit karakter pembesar kita.
Idealisme dan Emosi
      Bagaimana dengan para pemuda (yang sekarang dimaknai secara sempit sebagai mahasiswa yang secara klise dikatakan agen perubahan), Onghokham menilai munculnya kekuatan pemuda bukanlah khusus Indonesia, seperti munculnya "Gerakan 4 Mei" di  Cina. Apa yang menjadi ciri khas pemuda adalah idealismenya. Inilah faktor yang menyebabkan mereka bergerak.Â
 "Emosi-emosi yang besar ini justru menjadikan mereka sebagai umpan peluru yang paling cocok dalam suatu revolusi. Khususnya bila idealisme dan emosi ini tidak didukung oleh pengetahuan yang luas dan hanya berorientasi pada aksi tanpa mencoba menjawab apa kedudukan dan fungsi mereka, dan sampai tingkat mana perkembangan sejarah negara ini berada," kritik Onghokham.
 Terhadap kondisi sosial di Indonesia, pemuda memang berhak dan seharusnya prihatin. Namun, kata Onghokham, energi ini sebaiknya diarahkan untuk mengetahui persoalan-persoalan seperti generasi-generasi yang sebelumnya, yaitu para tokoh pergerakan nasional dan  kemerdekaan Indonesia (Kenapa tidak angkatan 66, Onghokham menilai pada umumnya angkatan ini mempunyai karakteristik yang sangat individualistik)Â