"Lewat sejarah bisa mengenal dan memahami hubungan timbul balik antara masyarakat dan negara" Onghokham.
Demikian kata sejarawan yang gemar dengan dongeng, Onghokham almarhum. Seorang hedonis makanan dan minuman (wine) sekaligus seorang gourmet (ahli dalam mencicipi / menilai makanan) dan antipati terhadap rokok atau kegiatan merokok meskipun awalnya perokok berat.
Lewat bukunya Rakyat dan Negara yang sebenarnya berupa kumpulan artikel yang pernah diterbitkan di majalah Prisma, Horison, dan buku terbitan LIPI Masalah-masalah Internasional Masa Kini. Buku ini sendiri sudah terbit 36 tahun yang lalu. Boleh jadi orang mengatakan sudah tidak up to date atau daluwarsa. Tapi, ketika kita membacanya tidak terkesan ketinggalan zaman.Â
Justru sebaliknya yang terjadi meskipun banyak pemikiran dan peristiwa hingga 2019 kni, kita diajak mengenal lebih dalam tentang orang Indonesia dan keindonesiaan. Lewat sejarah, kita bisa mengenal dan memahami hubungan timbal balik antara masyarkat dan negara, kata Onghokham.
Tidak hanya itu, lewat sejarah kita mengenal diri kita melalui refleksi-refleksinya. Sejarah bukan sekedar menyajikan fakta-fakta (meskipun juga sering dipakai penguasa sebagai 'pembenaran' dan legitimasi pemerintah sehingga tidak jarang penulisan sejarah yang dibelak-belokkan) Ia bisa menjadi sarana yang efektif dalam pemahaman diri. Bagaimana ini bisa terjadi ?
Lewat delapan artikel dalam buku ini, Onghokham menguakkan siapa diri kita, siapa orang Indonesia, apa itu keindonesiaan. Dalam peristiwa-peristiwa sejarah, Onghokham mau membeberkan jati diri kita, masyarakat Indonesia, seperti halnya Mochtar Lubis mengungkap diri kita dalam Manusia Indonesia dalam kehidupan kebudayaan kita.
Artikel pertama, langsung menusuk jantung masalah identitas kita, berjudul Sukarno : Mitos dan Realitas. Di awal-awal tulisan ini, Onghokham menggugat identitas kita. "Persoalannya kini bukan saja 'Siapakah Sukarno', tetapi juga 'siapa sebenarnya kita dahulu dan siapa kita sekarang' ? Apa dahulu kita yang munafik atau sekarang kita munafik ?", tegasnya.
Dengan pendekatan historis terhadap Sukarno, Onghokham menemukan bahwa Sukarno dan perjuangannya terhadap 'marhaen' (entrepreuneur kecil) berhadapan dengan "Establishment' ternyata berdiri sendirian, tidak dikelilingi oleh kawan-kawan seperjuangan yang sebanding. Tidak Hatta, tidak juga Syahrir. Ia hanya memiliki sekutu-sekutu, fraksi-fraksi, teman atau pengikut, dan para pengagum, tetapi bukan partner, rekan kerja.
Di akhir karir politiknya pun, ia berdiri lagi. Tapi, lagi-lagi sendirian. Ia ingin mencoba memberi arah pada jalannya revolusi, tetapi lagi-lagi sendirian. Ia berdiri sendirian di tengah-tengah arus umum yang menentangnya.
"Persoalannya kini bukan saja 'Siapakah Sukarno', tetapi juga 'siapa sebenarnya kita dahulu dan siapa kita sekarang' ? Apa dahulu kita yang munafik atau sekarang kita munafik ?"
Refleksi Seorang Peranakan
Artikel kedua berjudul Refleksi Seorang Peranakan Mengenai Sejarah Cina-Jawa, tidak sekedar menelaah bagaimana proses adaptasi para pendatang Cina, dan sekaligus pembauran Cina-Jawa dengan para pangeran Jawa, penduduk maupun VOC / Hindia Belanda. Terkadang proses itu meninggalkan trauma-trauma, misalnya pembantaian orang-orang Cina pada tahun 1740 oleh Belanda, dan sebagainya.