"Baik. Katakan !" perintah Raja.
"Akan ada suksesi berdarah nanti malam, Tuanku. Itu dilakukan Patih. Ia sudah mempersiapkan secara matang dan rapi," kata Maling Genthiri tenang.
"Ha...ha...ha...Nanti malam itu ada perjamuan makan. Bukan suksesi apalagi berdarah. Jadi, kamu salah !" kata Raja enteng meskipun tampak tergetar.
"Siapa yang mengadakan perjamuan itu, tuanku ?" tanya Maling Genthiri.
"Patih," jawab Raja.
"Justru kesempatan itulah yang dipakai Patih untuk melancarkan rencana suksesinya," kata Maling Genthiri. Kemudian, ia menceritakan semua hal yang diketahui dalam penyelidikan dari awal sampai akhir.
"Tampaknya masuk akal cerita itu. Tapi saya tidak mau gegabah. Kalau ada apa-apa, biarlah resikonya ditanggung si pemuda ini. Kalau pesan itu benar, maka saya akan selamat," pikir Raja.
"Tuduhan kamu tidak berdasar. Fitnah ! Â Apa taruhanmu bila kau salah? Lagian, saya tidak kenal engkau. Saya memang pernah dengar kisahmu bagaimana kau makan makanan babi. Seperti babi, kamu juga tidak bisa dipercaya !" kata Raja.
"Memang benar tuanku, hamba tidak patut dipercaya. Tapi, ayah kami mempercayai kami begitu rupa sehingga kami tidak bisa melupakan Beliau sama sekali dalam menuntun pikiran, perkataan, dan tingkah laku kami," kata Maling Genthiri disambung dengan kisah bagaimana karena lapar ia datang kepada ayahnya dan ayahnya justru menyematkan cincin di jemarinya. Raja mulai tersentuh.
"Saya raja kamu. Saya penguasa kamu bukan ayah kamu. Saya tetap minta jaminan apa yang kamu katakan memang benar," kata Raja.
"Dari awal kami sudah menyatakan bahwa taruhan kami adalah nyawa kami. Kami rela dipenggal kepala kami, jika apa yang kami sampaikan ternyata salah," kata Maling Genthiri.