"Tanpa banyak kata, papa segera merangkulku. Tidak ada kalimat lain yang mengalir dari mulutnya, beliau hanya berucap , "Thanks God!" Itu saja. Kalimat yang pendek, tapi mampu menyentuh hatiku." (Relon Star, hal. 106)
 "Thanks God!" Suatu kalimat pendek yang keluar mengalir dari mulut Bekman Sitompul, ayah Relon Star ketika mendengar putrinya menceritakan tentang keadaannya yang sebenarnya seorang pecandu narkoba dan kesungguhannya untuk sembuh dari kecanduan itu. "Papa, Mami, dan kakak-kakak, tolong bantu aku. Kali ini aku bersungguh-sungguh, aku ingin sembuh," kata Relon.
Sontak saja, Papanya merangkulnya. Dan, keluarlah kata-kata "Thanks God!" Itu saja. Kalimat yang pendek, tetapi mampu menyentuh hati seorang Relon Star.
 Kata-kata menakjubkan itu terucap bahkan sebelum Relon mengucapkan kata-kata penyesalannya. "Aku menyesal, Pa. Aku sudah melukai hati Papa. Aku sudah berontak terhadap Papa. Maafkan aku."
Dan, apa yang terjadi sesudah itu ? Sungguh menakjubkan. Perdamaian dalam keluarga Relon. Hubungan antara dia dan ayahnya yang semula penuh konflik, kini mencair. Penuh kesejukan dan harmoni. Relon juga didamaikan dengan dirinya sendiri. Ia sembuh dari penyakit Hepatitis dan terlepas dari narkoba. Hubungan dengan Tuhan juga dipulihkan. Kesaksian Relon ini mengingatkan pada kisah dalam Injil tentang "Perumpamaan tentang anak yang hilang" (Lukas 15 : 11 - 32)
Berproses
 Peristiwa pertobatan itu, sebenarnya tidak begitu saja terjadi secara tiba-tiba. Ia berproses hingga pada puncaknya. Bahkan, kata-kata penyesalan juga pernah diucapkan Relon ketika mendiang Mamanya Agustha Victorien Pantouw dalam keadaan  koma. "Mama, maafkan aku. Aku sudah banyak menyakiti hati Mama.
Aku minta maaf, Ma. Kalau Mama memaafkan aku, tolong kasih tanda."(hal. 62) Dan, dia melihat tangan Mamanya bergerak sedikit. Ia melihat setetes air mata mengalir di pipi Mamanya.
Kata-kata menakjubkan itu terucap bahkan sebelum Relon mengucapkan kata-kata penyesalannya. "Aku menyesal, Pa. Aku sudah melukai hati Papa. Aku sudah berontak terhadap Papa. Maafkan aku.
Ketika  Relon merasa hatinya tidak menentu, kalut dan kabur dari rumah, ia ingin mengakhiri hidupnya dengan cara menyilet pergelangan tangannya dan menaburinya dengan putau.
Pada saat yang sama pula, kakak-kakaknya: Omas Sonata Sitompul, Telly Bee Enna Sitompul, dan Selya Green Sitompul, mendoakan dirinya agar kembali ke rumah dan diluputkan dari hal-hal yang membahayakan hidupnya.Â
Silet yang digunakan untuk menyayat-sayat urat nadinya, tiba-tiba berkarat dan tumpul sehingga tidak dapat dipakai untuk mengakhiri hidupnya. Karena itu, ia lantas mengurungkan niatnya bunuh diri.
 Dan ketika mengalami overdosis dan diantar diam-diam ke kamarnya oleh teman-teman pecandunya karena takut menanggung resiko bila ia meninggal dunia, Relon bisa sadar diri dan bisa melewati masa kritisnya itu.Â
Setelah itu, hatinya hampa. Merasa sendirian dan kesepian. Ia merasa pusing dan benar-benar tidak ingat apa yang sedang terjadi pada dirinya sampai ia menemukan buku untuk dibaca. Buku itu buku rohani berjudul Rasa Tertolak yang diperolehnya ketika mengadakan retret anak muda.
Pergulatan batinnya membawa Relon Star berani mengumpulkan keluarganya, yakni Papa, Mami Caroline Weol dan kakak-kakaknya. Ia menceritakan keadaan dirinya yang sesungguhnya dan meminta bantuan agar keluarganya menolong dirinya. Dan, "Thanks God ! Itu saja." mengubah kehidupan Relon dan keluarganya.
Dari Rokok ke GanjaÂ
Buku ini suatu kisah yang diungkapkan seorang remaja menginjak dewasa di kota metropolitan Jakarta yang terjerat dalam narkoba. Ia terjerat justru ketika kelas 2 SMP. Awalnya ditawari rokok setiap hari oleh teman-teman. Dari rokok meningkat ke ganja dan meningkat lagi ke jenis narkoba lainnya yang lebih memiliki efek lebih besar lagi.
 "Pemandangan teman-temanku mengisap rokok sudah menjadi santapan sehari-hari. Pemandangan seperti ini tidak pernah aku jumpai di sekolah yang lama. Hampir setiap hari teman-teman yang brutal di sekolah ini mendekatiku. Mereka menawari aku rokok. Mula-mula aku tidak mau. Rasa takut masih menyelimuti hatiku. Tapi, setiap hari mendapat tawaran seperti itu, aku mulai tergoda - rasanya sayang jika diabaikan." (hal. 17)
Sungguh suatu keadaan yang memprihatinkan. Layak menjadi perhatian bukan hanya pihak sekolah tetapi juga orang tua dan masyarakat pada umumnya.
"Pemandangan teman-temanku mengisap rokok sudah menjadi santapan sehari-hari. Pemandangan seperti ini tidak pernah aku jumpai di sekolah yang lama. Hampir setiap hari teman-teman yang brutal di sekolah ini mendekatiku. Mereka menawari aku rokok. Mula-mula aku tidak mau. Rasa takut masih menyelimuti hatiku. Tapi, setiap hari mendapat tawaran seperti itu, aku mulai tergoda - rasanya sayang jika diabaikan."Â
Buku ini, disamping menceritakan bagaimana pola hubungan dan gaya hidup ramaja di Ibukota, juga memberi semangat baru terhadap upaya lepas dari jerat narkoba.
Sangat bagus dibaca remaja, pendidik, orangtua, dan siapa saja yang tertarik tentang masalah narkoba, khususnya upaya penanggulangannya. Selamat membaca.
Daniel Setyo Wibowo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H