Tidak mengherankan kalau buku ini berbobot karena dianggap serius. Ia ditulis selama 24 tahun. Bahkan novel ini dianggap mewakili tradisi penulisan karya sastra di Perancis yang rapi dan tekun yang telah dilakukan oleh Racine sejak abad XVI.
Sewaktu menggarap novel ini Marguerite Yourcenar menyusun dokumentasi selengkap mungkin tentang Hadrianus sehingga mengethui segala sesuatu yang dapat diketahui tentang dia, bahkan menguasai segala pengetahuan tokoh itu sendiri. Begitu rincinya, misalnya soal penyakit Hadrianus, Marguerite sampai meminta dokter untuk menganalisa penyakit Hadrianus dengan gejala-gejala sakit yang diperoleh dari dokumen sejarah.
Sakit
Memoar ini ditulis Hadrianus kepada Marcus Auerelius ketika ia mengetahui dirinya menderita penyakit jantung. Apa yang dipikirkan lalu adalah proses menjelang meninggal. Bagaimana tubuhnya tidak mau menuruti keinginannya karena susah digerakkan.
Sementara pandangan-pandangan hidup Hadrianus soal bagaimana jiwa, bagaimana kematian tidak begitu mendapat perhatiannya. Ia mempelajari semua dan sangat menghargai Plato karena itu ia mempersiapkan Marcus Aurelius, tetapi ia sangat terpukau pemikiran tentang tubuh.
Meskipun begitu, ia jauh dari hedonis. Ia tidak pula asketis. Ia berpandangan tubuh itu indah karena itu perlu dirawat. Tidak heran kalau ia senang membuat patung-patung untuk orang yang sudah mati. Ia memperkenalkan seni efiji.
Segenap urusan kekaisaran sudah ia selesaikan sesuai dengan visinya dan apa yang menjadi kewajibanya. Pemberontakan Yahudi yang dilakukan kaum Zelotis dipimpin BarKochba telah dipatahkannya, termasuk diusirnya Yahudi dari tanah Yudea dan mengganti namanya menjadi Palestina. Ia sudah memberi pertanggungjawaban secara resmi dan berusaha sesedikit mungkin berbohong.
Pengetahuan dan pandangan dari para sejarawan, filsuf, penyair, dan para pendongeng, sudah diterima dalam hidupnya. Ia juga banyak membangun perpustakaan di berbagai kota, karena ia sukar membayangkan sebuah dunia tanpa buku, meskipun kenyataan tidak ada dalam buku karena kenyataan tak dapat hadir secara keseluruhan dalam buku.
Tetapi, setelah semua itu, bagaimana ia menghadapi masa antara kesakitannya dan meninggal ? Itulah menariknya buku ini di samping kerinciannya. Ini bukan soal apakah Hadrianus itu seorang humanis, berbudaya, atau kaisar. Ia seorang manusia.
Jiwa Lembut dan Melayang-layang
Hadrianus sendiri pernah membayangkan kalau kematian itu mirip dengan tidur. Ketika sedang tidur, seorang Calligula, Nero, atau Aristides yang bijaksana, tidak ada bedanya. Sama saja nilainya. Ia tidak membedakan seorang kaisar atau budak. Hadrianus pun sadar kalau kematian dan tidur itu berbeda jauh sekali. Kematian mempunyai rahasia-rahasia lain yang lebih asing.
Bagaimana menjalani masa-masa itu? Itulah pergulatan Hadrianus yang ditawarkan dalam buku ini. Ia sangat menghargai tubuh. Bagaimana ketika tubuh itu harus mati ? "Jiwa kecil, jiwa lembut dan melayang-layang, sahabat tubuhku, yang menjadi tuan rumahnya, kau akan turun ke tempat-tempat pucat, keras, dan telanjang, tempat kau harus mengurungkan permainan-permainanmu dulu," kata Hadrianus.
Secara keseluruhan, buku ini baik bentuk maupun isinya sangat menarik. Judul bab-bab besarnya masih berbahasa Latin tanpa diterjemahkan sehingga agak kesulitan bagi pembaca yang awam dengan bahasa Latin. Mengingat bahasa itu bisa disebut sebagai bahasa mati karena tidak dipakai sehari-hari kecuali dalam hukum kanonik Gereja Katolik, misa-misa tertentu, istilah-istilah pengetahuan, dan kedokteran, serta beberapa prinsip hukum.