Mohon tunggu...
Daniel Ronda
Daniel Ronda Mohon Tunggu... Dosen Teologi -

Dosen Teologi, tinggal di kota Makassar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Penutupan Dolly: Antara Moralitas dan Kemanusiaan

18 Juni 2014   16:53 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:16 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catatan pendek saya: "Penutupan Dolly: Antara Moralitas dan Kemanusiaan" - Hari ini lokalisasi prostitusi terbesar di Surabaya bernama Dolly ditutup. Wajah pemimpin kota sumringah, kotanya telah "bersih" dari kemaksiatan, kekotoran dan kenajisan. Para perempuan pembuat wajah kota tercoreng dan aib telah resmi disingkirkan. Kaum moralis berteriak gembira karena para penjahat kelamin ini sudah lenyap, para pengotor kota sudah dibasmi. Tetapi ketika citra wajah kota "dibersihkan" masih adakah rasa kemanusiaan kita? Memang kita tidak menyetujui pelacuran, tapi melokalisir mereka seharusnya tindakan yang jauh manusiawi. Ada kesempatan untuk memanggil mereka kepada pertobatan, ada kontrol terhadap penyakit yang mematikan, ada pengawasan terhadap perdagangan manusia dan anak-anak. Tapi upaya kemanusiaan ini telah lenyap oleh teriakan: kalau melokalisir itu berarti Anda melegalisir, menyetujui, kompromi, mendukung dosa. Takut rasanya diteraiki seperti itu, padahal di sisi lain si pelacur yag meringis kepedihan kehilangan sumber hidup dan hutang yang membelit lewat kekuatan mucikari. Tak ada rasanya yang peduli. Memang kota sudah "bersih" tapi "sampah" yang meluber jadi membusuk di mana-mana: pelacuran akan muncul di jalanan dan di rumah-rumah, penyakit HIV/AIDS akan mewabah ke mana-mana, perdagangan manusia dan anak-anak akan memasuki tahapan yang mengkhawatirkan. dan kejahatan serta pemangsa seks akan mengintip di rumah-rumah. Sebuah dilema yang harus diselesaikan dengan melihat secara utuh bahwa memang manusia berdosa memerlukan tobat, namun penyakit dan permasalahan sosial memerlukan kearifan lebih dari sekadar panggilan pertobatan (*DR)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun