Mohon tunggu...
Daniel Mashudi
Daniel Mashudi Mohon Tunggu... Freelancer - Kompasianer

https://samleinad.com E-mail: daniel.mashudi@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Menelusuri Sejarah dan Heritage Depok Bersama Bapak Boy Loen

5 November 2024   02:08 Diperbarui: 5 November 2024   16:50 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: dokumen pribadi

Dari Depo KRL Depok, kami menuju ke Jalan Pemuda yang dikenal sebagai kawasan heritage Depok. Tempat pertama dikunjungi adalah Cornelis Koffie, sebuah kafe yang menempati salah satu bangunan heritage. 

Nama kafe ini diambil dari dari nama Cornelis Chastelein. Ia adalah orang yang pertama kali membuka Depok, dari sebelumnya berupa hutan belantara.

Kami duduk mengitari sebuah meja kayu berukuran panjang. Di atas meja ada gelas-gelas yang berisi minuman. Tak lama kemudian datang Bapak Boy Loen, salah satu tokoh keturunan Belanda Depok. Beliaulah yang akan menceritakan sejarah Depok serta memandu kami menelusuri bangunan-bangunan heritage yang ada. 

Sejarah Depok

Bapak Boy Loen memulai dengan menceritakan Cornelis Chasteleein, seorang Belanda yang lahir di Amsterdam pada tanggal 10 Agustus 1657. Cornelis Chastelein adalah anak dari Anthony Chastelein,  kepala kamar dagang di Amsterdam, Belanda. 

Karena punya banyak kerabat di Batavia, maka pada umur 17 tahun Cornelis berangkat ke Batavia. Dalam perjalanan lebih dari 200 hari, Cornelis tiba di Batavia dan langsung bekerja di VOC. 

Karir Cornelis di VOC menanjak karena ia smart dan rajin. Sampai terakhir ketika VOC dipimpin oleh Gubernur Jenderal Johannes Camphuys, Cornelis menjadi orang keempat di bawah Camphuys. 

Cornelis memiliki visi yang sama seperti Camphuys, yaitu memperlakukan kaum pribumi dengan selayaknya. Ia menerapkan politik etis di mana tidak boleh ada kerja paksa dan tanam paksa, termasuk penetapan harga pembelian hasil bumi seenaknya. 

Cornelis dan Camphuys menginginkan para petani menanam tanaman sesuai dengan keadaan tanahnya, karena para petani lebih mengetahui daripada orang asing. Harga pembeliannya harus melalui proses tawar-menawar hingga terjadi kesepakatan. Di era Camphuys, VOC tidak melakukan perluasan wilayah. Selain itu juga tidak ada perang. 

Cornelis Koffie (sumber gambar: dokumen pribadi)
Cornelis Koffie (sumber gambar: dokumen pribadi)

Hal yang berbeda terjadi ketika Camphuys diganti oleh Willem van Outhoorn. Pasalnya, van Outhoorn tidak lagi melakukan hal yang sama karena dianggap terlalu baik kepada kaum pribumi. Ia ingin menerapkan politik mercantilism dengan cara memperoleh keuntungan dan kejayaan dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Cornelis Chastelein sempat memperingatkan van Outhoorn, "Jumlah orang Belanda sangat sedikit dibandingkan dengan orang pribumi. Pada saatnya ketika mereka melawan, kita tidak bisa berbuat apa-apa."

Namun, van Outhoorn berkata, "Saya gubernur jenderalnya. Take it or leave it." 

Chastelein memutuskan berhenti, kemudian ia membeli tanah Depok dari seorang opsir tentara Hindia Belanda yang bernama Lucas Van der Meur. 

Van der Meur belum lama membeli tanah tersebut dari pemerintah Batavia, tetapi ia kemudian dimutasi menjadi asisten residen di Jepara. Mengetahui hal itu, Chastelein langsung mengatakan kepada Lucas van der Meur agar tanah tersebut dijual kepada Chastelein. 

Orang Belanda sudah terbiasa bertransaksi dengan bukti hitam di atas putih. Saat itu, surat yang disahkan notaris memang tertulis Het Land Depok. Jadi Ketika Chastelin membeli tanah tersebut pada tahun 1692, namanya memang sudah Het land Depok. Luas Het Land Depok, dari Sungai Ciliwung ke arah barat sampai ke Mampang. 

"Kalau yang ada di Youtube, itu menyimpang. Tertulis 'De Eereste Protestante Organisatie van Kristenen', itu tidak benar," kata Pak Boy.

Pak Boy punya banyak kerabat yang menikah dengan orang Belanda dan sekarang tinggal di Belanda. Pada tahun 1962 saat Trikora (perebutan Irian Barat), Presiden Sukarno memutuskan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Belanda. Jadi, kerabat Pak Boy di Belanda yang biasanya pada bulan Desember pulang ke Depok untuk merayakan Natal dan Tahun Baru, tidak bisa kembali lagi ke Depok. 

Setiap tahun mereka melakukan reuni Depok di Belanda, yang lokasinya bisa berpindah-pindah kota. Waktu reuni, mereka meluapkan kerinduannya dan membuat akronim, seperti De Eereste Protestante Organisatie van Kristenen. 

Selain itu jika dilihat dari bahasa, orang Belanda tidak pernah menulis Kristenen pakai huruf K di depannya, tapi C. Dengan demikian akronim tersebut sebagai asal-usul Depok terbantahkan kebenarannya. 

Depok waktu itu masih hutan belantara. Chastelein berpikir bahwa Depok harus bisa seperti VOC, menghasilkan hasil bumi yang bisa diekspor ke Eropa. Maka dia mendatangkan 150 budak yang dibeli dari pasar budak di Bali. Pada masa itu, perdagangan budak adalah legal. Di nusantara ada 2 pasar budak, yaitu di Bali dan Makassar. 

Budak-budak yang dibeli Chastelein berasal dari Jawa, Bali, NTT, Sulawesi, dan Maluku. Ada juga satu budak dari Benggali (India). Sebelum mereka ditempatkan di Depok, mereka magang dulu di Batavia. 

Chastelein orang yang sangat kaya. Ia memiliki lahan sangat luas di Batavia dengan nilai ekonomi tinggi, seperti di kawasan Monas (dulu bernama Weltevreden), Istiqlal, RSPAD, Senen Raya, sampai Taman Ismail Marzuki. Tanah di Weltevreden ditanami tebu. Di RSPAD dan Senen Raya ditanami kopi. Di Taman Ismail Marzuki ditanami kopi dan lada. 

Setelah magang di Batavia, para budak kemudian dibawa ke Depok. Di Depok mereka tinggal di tepi Sungai Ciliwung. Chastelein membuat 21 rumah untuk mereka. Mereka ditugaskan mengerjakan wilayah Depok menjadi perkebunan.

Selain tanah di Mampang, Chastelein juga membeli tanah di Pesanggrahan (Cinere). Jadi menyambung dari Sungai Ciliwung sampai Cinere. 

Perkebunan ditanami dengan tanaman bernilai ekonomi tinggi, seperti kopi, lada, karet. Yang paling terkenal adalah lada dari Mampang. 

Ketika pertanian maju, Chastelein berpikir jika suatu saat meninggal ia merasa kasihan kepada para budaknya. Chastelein ingin mereka mengenal peradaban. Para budak diajarkan baca tulis. Karena jika bisa baca tulis, maka jendela dunia terbuka bagi mereka. 

Mereka bekerja di perkebunan dari pagi hingga jam 2 siang. Jam 2-4 istirahat. Setelah jam 4 mereka diajarkan baca tulis.

Ada 2 budak yang pintar baca tulis, yaitu Baprima van Bali dan Carangasang van Bali. Mereka ditugaskan tiap sore untuk mengajar baca tulis, tempatnya yang sekarang menjadi Gereja Imanuel. Bangunannya saat itu masih dari kayu dan lantainya masih tanah. 

Tahun 1697, media baca susah diperoleh tidak seperti sekarang ini. Saat itu media baca yang dipakai adalah Bible. Hingga akhirnya mereka bisa baca dan tulis.

Baprima dan Carangasang kemudian memberi dirinya untuk dibaptis. Sementara budak yang lain, sebagian ada yang dibaptis dan sebagiannya lagi tetap memeluk keyakinannya semula. 

Dari situlah Chastelein meminta keduanya untuk mengajarkan inti pengajaran Kristen, seperti Doa Bapa Kami, 10 Perintah Tuhan, dan Pengakuan Iman Rasuli. 

Sejak membeli budak-budaknya, Chastelein memperlakukan mereka seperti anak angkat atau keluarga. Chastelein berpikir, jika mereka tidak mengenal organisasi, maka keadaan bisa kacau setelah Chastelein meninggal.

Maka Chastelein membentuk Gemeente bestuur (pengurus) pada tahun 1705 yang mengatur masalah sosial kemasyarakatan, pertanian. Pada waktu itu Gemeente bestuur belum berbadan hukum. Ketuanya adalah Djarong van Bali, dibantu 7 orang lagi. Selain itu juga ada mandor yang mengurus masing-masing wilayah.

Diatur juga mengenai hasil bumi. Selain untuk mereka yang mengerjakan, juga disetor 10 persen dari hasil panen untuk keperluan sosial. 

Chastelein juga berpikir, mereka juga harus dibebaskan dari perbudakan walaupun saat itu perbudakan adalah legal. 

Pada 13 Maret 1714, Chastelein membuat surat wasiat. Ia sampaikan bagian untuk anak kandungnya berupa tanah warisan di Batavia. Sedangkan anak angkatnya Maria Chastelein diangkat secara legal, diberikan warisan di Batavia. Tanah Depok dari Sungai Coliwung hingga Sungai Pesanggrahan diberikan kepada 150 budaknya.

"Di dunia, Chastelein adalah satu-satunya yang memiliki lompatan sangat jauh ke depan. Dia memperlakukan budak sebagai anak angkat, juga ahli waris. Secara hukum juga memiliki kedudukan yang sama dengan bangsa Belanda." 

Dalam perkembangannya, Gemeente bestuur yang semula belum berbadan hukum, pada tahun 1913 disahkan secara hukum bernama Gemeente Bestuur Depok dengan 5 orang pengurus, terdiri 1 orang ketua, 1 sekretaris, 1 bendahara, dan 2 anggota. 

Ketua disebut sebagai presiden. Itulah sebabnya ada sebutan Presiden Depok. Gemeente Bestuur disebutkan sebagai suatu desa yang mengurus dirinya sendiri yang dipimpin oleh presiden, yang bertanggung jawab terhadap pendidikan, kesejahteraan, pertanian, dan infrastruktur.

Anak-anak Depok asal mau sekolah, maka orang tuanya tak perlu menyiapkan uang, seragam, atau buku. Ada dua sekolah, yang pertama yaitu Depoksche Lagere School dengan pengantar dalam Bahasa Melayu.

Sekolah kedua adalah Depoksche Europesche Lagere School dengan pengantar dalam Bahasa Belanda. Sekolah inilah yang mengubah mindset orang Depok. Ketika mereka lulus, mereka fasih berbahasa Belanda. Mereka bisa dengan mudah diterima bekerja di Batavia, baik sebagai amtenaar (pegawai pemerintah) maupun pegawai bank, asuransi, dan lainnya. 

Ketika berangkat bekerja ke Batavia, mereka naik dari Stasiun Depok. Pada waktu itu, penumpang kereta dari Bogor berbahasa Sunda, sementara penumpang dari Depok bisa berbahasa Belanda. Saat kereta tiba di Depok, mereka yang dari Bogor mengatakan, "Kita tiba di Amsterdam. Belanda Depok turun." 

Dari sinilah istilah Belanda Depok muncul. Mereka bukan orang Belanda, tetapi pribumi yang lulus dari Europesche Lagere School dan bisa berbahasa Belanda.

Menelusuri Heritage Depok

Usai menjelaskan secara detail tentang sejarah Depok, Pak Boy Loen memandu kami menelusuri beberapa bangunan heritage Depok. 

Cornelis Koffie merupakan bangunan peninggalan Belanda yang dibangun pada tahun 1930-an. Bangunan ini menjadi rumah tinggal R. Moh Singer, salah satu negosiator yang mewakili Kementerian Dalam Negeri ketika mengurus pelepasan hak tanah partikulir Depok dengan Gemeente Bestuur Depok tahun 1952. 

Monumen Perinngatan 200 Tahun Wafatnya Cornelis Chastelein dan Rumah Sakit Harapan Depok (sumber gambar: dokumen pribadi)
Monumen Perinngatan 200 Tahun Wafatnya Cornelis Chastelein dan Rumah Sakit Harapan Depok (sumber gambar: dokumen pribadi)

Dari Cornelis Koffie, kami berjalan menuju monumen peringatan 200 tahun meninggalnya Cornelis Chastelein. Monumen ini diresmikan pada tanggal 28 Juni 1914. Tanggal 28 Juni kemudian dirayakan dirayakan oleh Kaoem Depok seabagai Cor8 Chastelein dag (Hari Cornelis Chastelein) dan disebut juga sebagai Depoksche Dag (Hari Depok).

Monumen ini berada di halaman Rumah Sakit Harapan Depok, yang sekarang sudah tidak beroperasi lagi dan kondisinya rusak. Dulunya, rumah sakit ini adalah Gemeente huis (kantor Gemeente bestuur) yang dihadirkan oleh Cornelis Chastelein pada tahun 1705 dan kemudian disahkan secara hukum menjadi Gemeente Bestuur Depok pada tahun 1913.

Organisasi ini dipimpin oleh G. Jonathans sebagai presiden dan M. F. Joinathans sebagai sekretaris. Dari sinilah dikenal istilah Presiden Depok. 

Rumah Presiden Terakhir Gemeente bestuur Depok (sumber gambar: dokumen pribadi)
Rumah Presiden Terakhir Gemeente bestuur Depok (sumber gambar: dokumen pribadi)

Dari rumah sakit, Pak Boy mengajak kami menyeberang jalan menuju rumah J. M. Jonathans yang adalah Presiden ke-5 (terakhir) Gemeente bestuur Depok dan juga Ketua pertama Lembaga Cornelis Chastelein yang sekarang menjadi YLCC (Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein). 

Di rumah ini, Pak Boy mengajak kami masuk ke ruang kerja yang berada di bagian kanan depan. Di dalam ruangan ini ada sofa, meja, dan peralatan lain yang kondisinya cukup terawat. 

Gereja Imanuel (sumber gambar: dokumen pribadi)
Gereja Imanuel (sumber gambar: dokumen pribadi)

Kami kemudian mengunjungi Pastori Gereja Imanuel, yang bersebelahan dengan Gereja Imanuel. Sayangnya, kami tak dapat masuk ke Gereja Imanuel karena tutup setiap hari Senin. 

Hujan deras turun saat kami tiba pastori. Pak Boy menampilkan presentasi melalui proyektor terkait heritage Depok berikut foto-fotonya di masa lalu.

Pastori Gereja Imanuel (sumber gambar: dokumen pribadi)
Pastori Gereja Imanuel (sumber gambar: dokumen pribadi)

Pastori Gereja Imanuel menjadi lokasi terakhir yang kami datangi. Gagasan untuk mendirikan pastori ini dilakukan oleh Pendeta Schuurkogel yg melayani di Depok pada tahun 1817-1823. 

Dari pastori, kami menuju ke Stasiun Depok dan pulang ke rumah masing-masing. 

Terima kasih kepada Bapak Asep Saiful Permana dan Bapak Boy Loen yang telah banyak memberikan informasi pada acara walking tour Depo Depok dan Heritage Depok, kolaborasi Click X Kreatoria dalam rangka peringatan Hari Blogger Nasional 2024. 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun