Sejak membeli budak-budaknya, Chastelein memperlakukan mereka seperti anak angkat atau keluarga. Chastelein berpikir, jika mereka tidak mengenal organisasi, maka keadaan bisa kacau setelah Chastelein meninggal.
Maka Chastelein membentuk Gemeente bestuur (pengurus) pada tahun 1705 yang mengatur masalah sosial kemasyarakatan, pertanian. Pada waktu itu Gemeente bestuur belum berbadan hukum. Ketuanya adalah Djarong van Bali, dibantu 7 orang lagi. Selain itu juga ada mandor yang mengurus masing-masing wilayah.
Diatur juga mengenai hasil bumi. Selain untuk mereka yang mengerjakan, juga disetor 10 persen dari hasil panen untuk keperluan sosial.Â
Chastelein juga berpikir, mereka juga harus dibebaskan dari perbudakan walaupun saat itu perbudakan adalah legal.Â
Pada 13 Maret 1714, Chastelein membuat surat wasiat. Ia sampaikan bagian untuk anak kandungnya berupa tanah warisan di Batavia. Sedangkan anak angkatnya Maria Chastelein diangkat secara legal, diberikan warisan di Batavia. Tanah Depok dari Sungai Coliwung hingga Sungai Pesanggrahan diberikan kepada 150 budaknya.
"Di dunia, Chastelein adalah satu-satunya yang memiliki lompatan sangat jauh ke depan. Dia memperlakukan budak sebagai anak angkat, juga ahli waris. Secara hukum juga memiliki kedudukan yang sama dengan bangsa Belanda."Â
Dalam perkembangannya, Gemeente bestuur yang semula belum berbadan hukum, pada tahun 1913 disahkan secara hukum bernama Gemeente Bestuur Depok dengan 5 orang pengurus, terdiri 1 orang ketua, 1 sekretaris, 1 bendahara, dan 2 anggota.Â
Ketua disebut sebagai presiden. Itulah sebabnya ada sebutan Presiden Depok. Gemeente Bestuur disebutkan sebagai suatu desa yang mengurus dirinya sendiri yang dipimpin oleh presiden, yang bertanggung jawab terhadap pendidikan, kesejahteraan, pertanian, dan infrastruktur.
Anak-anak Depok asal mau sekolah, maka orang tuanya tak perlu menyiapkan uang, seragam, atau buku. Ada dua sekolah, yang pertama yaitu Depoksche Lagere School dengan pengantar dalam Bahasa Melayu.
Sekolah kedua adalah Depoksche Europesche Lagere School dengan pengantar dalam Bahasa Belanda. Sekolah inilah yang mengubah mindset orang Depok. Ketika mereka lulus, mereka fasih berbahasa Belanda. Mereka bisa dengan mudah diterima bekerja di Batavia, baik sebagai amtenaar (pegawai pemerintah) maupun pegawai bank, asuransi, dan lainnya.Â
Ketika berangkat bekerja ke Batavia, mereka naik dari Stasiun Depok. Pada waktu itu, penumpang kereta dari Bogor berbahasa Sunda, sementara penumpang dari Depok bisa berbahasa Belanda. Saat kereta tiba di Depok, mereka yang dari Bogor mengatakan, "Kita tiba di Amsterdam. Belanda Depok turun."Â