Aku lihat daftar menu jamu yang tertulis di salah satu sisi gerobak jamu. Ada kunyit asam, jahe merah, jamu untuk asam lambung, diabetes, keputihan, stamina, dan lainnya. Rata-rata harganya 15 ribu.
Jamu untuk stamina yang akhirnya kupilih, pakai telur bebek. Biar stamina nggak jadi stamini.
Setalah itu datang pembeli lainnya, seorang wanita. Ia memesan dua porsi jamu, dibungkus untuk dibawa pulang.
Sementara penjual itu melanjutkan menata dagangan, datanglah seorang pria dan wanita yang umurnya lebih tua, mungkin 40-50 tahunan. Mereka bertiga mempersiapkan warung yang sebentar lagi akan didatangi para pembeli.
Si pria muda itu kemudian menyalakan kompor dan merebus air. Pekerjaan menata barang dagangan dilanjutkan oleh wanita yang memakai baju dan jilbab berwarna toska. Sedangkan pria yang satu lagi mulai menyiapkan jamu pesanan.
Pria ini memakai kaos abu-abu, celemek hitam, dan sarung tangan karet berwarna ungu. Ia mengambil rimpang kunyit dan memarutnya.
Parutan kunyit ditambah dengan air hangat, lalu diaduk-aduk. Selanjutnya, diperas dan disaring airnya ke dalam gelas. Di dalam gelas itu juga ada bahan-bahan herbal yang lain.Â
Pesananku pun siap. Segelas besar jamu yang hangat dengan warna kuning kunyit dan aroma yang khas. Di dalamnya ada gula merah, kunyit putih, buah pinang, dan telur bebek.
Aku mulai mengaduk jamu, dan meminumnya sedikit demi sedikit. Rasanya khas, nggak terlalu pahit, dan sedikit amis karena ada telurnya.