Mohon tunggu...
Daniel Mashudi
Daniel Mashudi Mohon Tunggu... Freelancer - Kompasianer

https://samleinad.com E-mail: daniel.mashudi@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Rumah Trembesi

6 Februari 2024   14:49 Diperbarui: 6 Februari 2024   14:55 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebuah rumah dengan pohon trembesi di depannya (Gambar dibuat dengan Bing)

Aku menghabiskan masa kecilku di Pati, sebuah kota kecil yang terletak di pesisir utara Jawa Tengah. Layaknya daerah pesisir lainnya, udara di Pati cukup panas apalagi pada saat musim kemarau.

Beberapa bangunan peninggalan Belanda terawat dengan baik di kotaku. Kokoh, bercat putih, dan sebagian besar memiliki halaman luas. Di sepanjang jalan protokol seperti Sudirman, Pemuda, dan Diponegoro, bangunan-bangunan tersebut masih berdiri hingga sekarang.

Semasa kecil, aku punya rumah impian. Aku ingin memiliki rumah seperti rumah peninggalan Belanda itu. Kokoh, bercat putih bersih, dan punya halaman luas.

Di halaman itu, aku ingin ada satu atau dua pohon trembesi. Pohonnya besar, kuat, serta punya cabang yang banyak dan daun yang lebat. Pohon seperti ini cocok untuk mengusir hawa gerah di kotaku.

Setiap siang setelah pulang sekolah, akan kuhabiskan waktuku di halaman rumah itu. Bermain dengan teman-temanku, atau cukup duduk-duduk di bawah naungan teduh trembesi.

Selepas SMA aku melanjutkan kuliah dan bekerja di Tangerang, kota yang lebih besar dan ramai daripada Pati. Namun, sama-sama berada di pesisir utara Jawa. Cuacanya juga tak jauh berbeda, gerah dan menyengat di kala kemarau.

Setelah sekian tahun bekerja, aku bisa membeli rumah. Mencicil tentunya. Rumah ukuran kecil, halamannya juga tidak luas. Tak seperti rumah trembesi, impian waktu kecilku dulu.

Pada halaman rumah, aku tanam pohon belimbing. Ia tumbuh subur, berdaun lebat, dan ukuran buahnya besar.

Pohon belimbingku berbuah besar (dokumen pribadi)
Pohon belimbingku berbuah besar (dokumen pribadi)

Pohon belimbing ini berhasil membuat halaman rumahku menjadi teduh. Bahkan, bisa memberikan hawa segar saat kemarau.

Namun, ukurannya yang terus bertambah membuat tembok pagar menjadi retak dan kemudian jebol. Pada Mei 2023 lalu, aku terpaksa menebangnya dan mencabut sampai ke akar-akarnya.

Tanpa pohon peneduh, rumahku menjadi gersang dan panas. Apesnya lagi musim kemarau tahun lalu begitu menyengat, bahkan tercatat sebagai tahun terpanas dalam sejarah. Para ahli bilang, suhu pada tahun 2023 melebihi suhu pada periode mana pun setidaknya dalam 100.000 tahun terakhir.

Musim kemarau tahun 2023 juga bertambah panjang sebagai dampak dari perubahan iklim global. Bulan Oktober yang biasanya sudah masuk ke musim penghujan, nyatanya masih saja terasa menyengat. Hujan baru turun pada November.

Hal-hal buruk itu terjadi karena perbuatan manusia sendiri. Kita terus melepaskan gas rumah kaca seperti karbon dioksida atau CO2 ke atmosfer dalam jumlah yang sangat besar.

Perlu langkah antisipasi untuk menjaga lingkungan sustainable. Dimulai dari diri sendiri. Dimulai dari rumah kecilku.

Pekan lalu aku berniat menanam lagi sebuah pohon di depan rumah. Aku mulai memikirkan pohon apa yang bisa menjadi peneduh, sekaligus menyerap karbon dioksida dalam jumlah besar.

Dari beberapa referensi yang kutemukan, trembesi mampu menyerap karbon dioksida dalam jumlah besar. Jumlah CO2 yang bisa diserap hingga 28.488 kilogram per tahun.

Ah, ternyata ini alasannya kenapa aku dulu ingin punya rumah trembesi. Pohon trembesi rupanya bisa menyerap banyak karbon dioksida, sehingga udara menjadi segar.

Tak hanya trembesi, pohon-pohon lain juga bisa menyerap CO2 dalam jumlah besar. Seperti cassia (5.295 kg/tahun), kenanga (756,59 kg/tahun), beringin (535,90 kg/tahun), matoa (329,76 kg/tahun), mahoni (295,73 kg/tahun), dan lainnya.

Dari sekian banyak pohon, aku memilih  pohon matoa. Aku suka buahnya yang memiliki aroma dan rasa khas rambutan, lengkeng dan durian.

Di lokapasar, banyak toko yang menjual bibit matoa. Aku pun memesannya, lima ribuan rupiah saja harganya.

Pesananku datang pagi tadi. Bibit matoa setinggi 30 cm itu segera aku tanam di depan rumah.

Bibit matoa yang baru saja kutanam (dokumen pribadi)
Bibit matoa yang baru saja kutanam (dokumen pribadi)

Menanam pohon itu kegiatan yang mudah, tapi berdampak besar terhadap lingkungan.
Aksi kecilku ini telah menentukan masa depan lingkungan sustainable.

Siang ini hujan turun, membasahi bibit matoa itu. Semoga pohon kecilku tumbuh subur. Dan kelak saat ia besar, aku bisa mendapatkan buah yang lezat dan udara yang segar.

Rumah trembesi, rumah matoa, atau rumah dengan pohon lainnya adalah rumah yang ikut memberi sumbangsih kepada keberlanjutan bumiku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun