Mohon tunggu...
Daniel Mashudi
Daniel Mashudi Mohon Tunggu... Freelancer - Kompasianer

https://samleinad.com E-mail: daniel.mashudi@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Bungkeuleukan (2020), Tidak Ikut Euforia Film Pendek Saat Ini

7 November 2020   21:01 Diperbarui: 7 November 2020   21:02 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bungkeuleukan (2020). Kredit: Bale Films

Pandemi Covid-19  memberi pukulan berat bagi industri perfilman. Anjuran untuk tetap berada di rumah yang diejawantahkan dalam frasa work from home atau school from home membuat masyarakat tidak bisa lagi menikmati film di gedung bioskop.

Para penggemar film kemudian mengalihkan perhatiannya ke platform lain, baik televisi maupun digital. Pelaku industri perfilman melihat hal ini sebagai peluang baru dengan mempertunjukkan karyanya melalui kanal Youtube dan platform digital lainnya.

Fenomena menarik yang masih lekat di ingatan kita yaitu meledaknya film Tilik yang tayang di kanal Ravacana Films di Youtube. Hingga sekarang, film pendek yang disutradarai Wahyu Agung Prasetyo ini telah meraih 24 juta view.

Jumah tersebut jauh melampaui capaian film Indonesia sebelumnya. Hingga saat ini, tercatat Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 meraih rekor penonton tertinggi, yakni 6,8 juta. Di peringkat selanjutnya ada Dilan 1990 (6,3 juta) dan Dilan 1991 (5,2 juta).

Fenomena film Tilik yang berdurasi 32 menit tersebut juga mengangkat pamor film pendek Indonesia. Sebelumnya, film pendek hampir tidak dilirik oleh publik. Biasanya film pendek produksi dalam negeri diputar terbatas di festival film dan pemutaran khusus. Termasuk Tilik, film produksi tahun 2018 ini tayang di beberapa festival terlebih dahulu sebelum ditayangkan di Youtube.

Bungkeuleukan, Film Pendek Berlatar Budaya Sunda

Sabtu (21/10) lalu saya berkesempatan hadir pada acara nonton bareng film Bungkeuleukan bersama komunitas Komik (Kompasianers Only Movie Enthus(I)ast Klub)dan  Bale Films. Acara tersebut berlangsung secara virtual, berbeda dengan nonton bareng yang pernah saya ikuti sebelumnya bersama komunitas tersebut.

Meski diadakan secara virtual, kemeriahan acara tetap terjaga. Kami bisa leluasa mengekspresikan diri melalui dandanan a la Halloween sesuai dengan tema acara, Spooktober atau Spooky October. Selain itu, peserta nobar bisa bertanya langsung mengenai film Bungkeuleukan kepada Agung Jarkasih, sang  sutradara, penulis, dan produser film.

Kemeriahan nobar virtual. Sumber: Komunitas Komik
Kemeriahan nobar virtual. Sumber: Komunitas Komik
Bungkeuleukan yang bergenre drama spiritual ini berkisah tentang Jantra (diperankan Ridho Falah) yang hidup miskin di sebuah desa di Bogor, Jawa Barat. Dalam keadaan yang tidak beruntung tersebut, ia diremehkan oleh orang di sekitarnya. Jantra kemudian berjanji kepada anaknya, Amar (Rafli Despian) untuk membeli rumah baru di perumahan dekat desanya. Jantra hidup sebagai orangtua tunggal, setelah bercerai dengan Lastri (Agis Kristiyanti).

Jantra punya kebiasaan bermain judi togel. Demi mendapatkan uang untuk membeli rumah baru, ia melakukan ngimpo, ritual di pohon keramat untuk mendapatkan nomor togel. Esoknya, ia pun memasang nomor dan yakin bisa menang togel.

Sayangnya, nomor yang dipasang meleset. Jantra marah dan berniat menebang pohon keramat. Jantra justru mengalami musibah, ketika Amar hilang dari rumah. Jantra bersama penduduk desa kemudian berkeliling desa mencari Amar. Hingga kemudian di sebuah tempat dengan rumpun bambu, terjadi hal yang mengerikan. Ada sesosok bayangan di antara batang-batang bambu yang menimbulkan kekacauan.

Alur Sederhana dan Kritik Sosial Film Bungkeuleukan

Layaknya film pendek lainnya, Bungkeuleukan memiliki alur sederhana dengan jalan cerita yang gampang dicerna. Namun demikian, film berdurasi 38 menit ini tetap menyuguhkan tontonan menarik. Visualisasi suasana pedesaan cukup berhasil, dengan menampilkan ladang, rumah-rumah sederhana, dan pepohonan hijau dan rindang.

Latar budaya Sunda ditampilkan melalui dialog berbahasa Sunda sepanjang film. Juga skoring dengan musik tradisional dan lagu berbahasa Sunda.

Untuk mendukung suasana horor, di beberapa bagian film ditampilkan jembatan berkabut hingga rumpun bambu yang remang. Juga ada klintingan atau gantungan bambu yang dipasang di depan rumah, yang akan mengeluarkan bunyi khas saat tertiup angin sebagai metafora kehadiran makhluk tak kasat mata. Untuk memberikan jump scare, sesosok pocong ikut hadir dengan wajah terekspos.

Dari segi akting, para pemain cukup baik melakukan perannya. Dialog dan ekspresi cukup natural, tidak lebay.

Ada pesan atau kritik sosial dari film Bungkeuleukan yang relevan dengan kondisi kekinian. Yaitu tentang berkurangnya daerah hijau di desa yang kemudian berganti dengan perumahan yang dibangun developer. Sayangnya, warga setempat hampir mustahil bisa memiliki perumahan modern tersebut, karena alasan ekonomi.

Di sisi lain, warga lokal juga tak luput dari kritik. Kebiasaan bemain togel dan ngimpo mencerminkan sikap malas dan mencari jalan pintas untuk hidup sejahtera. Menurut Agung Jarkasih, sutradara muda kelahiran tahun 1995, ia masih menjumpai agen togel di salah satu pasar di Bogor beberapa waktu lalu.

Penayangan Bungkeuleukan Masih Terbatas

Jika di bagian awal disebutkan kesuksesan film Tilik dengan capaian jutaan view, maka Bengkeuleukan belum menuju ke arah tersebut. Bungkeuleukan tidak mengikuti euforia film pendek saat ini. Film ini masih ditayangkan secara terbatas. Film yang sempat kami saksikan di Youtube tersebut, kini tak bisa diakses.

Apakah Agung Jarkasih dan Bale Films sengaja menyimpan film ini untuk kemudian ditampilkan di festival? Dan apakah film ini menunggu waktu yang tepat untuk bisa diakses bebas oleh publik? Kita tunggu saja pekembangan selanjutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun