Latar budaya Sunda ditampilkan melalui dialog berbahasa Sunda sepanjang film. Juga skoring dengan musik tradisional dan lagu berbahasa Sunda.
Untuk mendukung suasana horor, di beberapa bagian film ditampilkan jembatan berkabut hingga rumpun bambu yang remang. Juga ada klintingan atau gantungan bambu yang dipasang di depan rumah, yang akan mengeluarkan bunyi khas saat tertiup angin sebagai metafora kehadiran makhluk tak kasat mata. Untuk memberikan jump scare, sesosok pocong ikut hadir dengan wajah terekspos.
Dari segi akting, para pemain cukup baik melakukan perannya. Dialog dan ekspresi cukup natural, tidak lebay.
Ada pesan atau kritik sosial dari film Bungkeuleukan yang relevan dengan kondisi kekinian. Yaitu tentang berkurangnya daerah hijau di desa yang kemudian berganti dengan perumahan yang dibangun developer. Sayangnya, warga setempat hampir mustahil bisa memiliki perumahan modern tersebut, karena alasan ekonomi.
Di sisi lain, warga lokal juga tak luput dari kritik. Kebiasaan bemain togel dan ngimpo mencerminkan sikap malas dan mencari jalan pintas untuk hidup sejahtera. Menurut Agung Jarkasih, sutradara muda kelahiran tahun 1995, ia masih menjumpai agen togel di salah satu pasar di Bogor beberapa waktu lalu.
Penayangan Bungkeuleukan Masih Terbatas
Jika di bagian awal disebutkan kesuksesan film Tilik dengan capaian jutaan view, maka Bengkeuleukan belum menuju ke arah tersebut. Bungkeuleukan tidak mengikuti euforia film pendek saat ini. Film ini masih ditayangkan secara terbatas. Film yang sempat kami saksikan di Youtube tersebut, kini tak bisa diakses.
Apakah Agung Jarkasih dan Bale Films sengaja menyimpan film ini untuk kemudian ditampilkan di festival? Dan apakah film ini menunggu waktu yang tepat untuk bisa diakses bebas oleh publik? Kita tunggu saja pekembangan selanjutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H