Sirup identik dengan Ramadan dan Lebaran. Bahkan ada yang berkata, jika iklan sirup sudah muncul di tivi maka tandanya bulan puasa sudah dekat.
Sudah semacam tradisi, produk-produk tertentu akan memasang iklan lebih intens saat bulan puasa dan lebaran. Mulai dari sarung, biskuit, juga sirup. Masing-masing produk akan menampilkan iklan dalam kreativitas masing-masing.
Iklan sirup muncul berulang-ulang, pada jeda iklan yang  ada di antara segmen-segmen siaran berita atau sinetron. Iklan sirup di layar kaca ini selalu menarik perhatian.
Sirup Marjan misalnya, mengemas iklan dalam balutan cerita atau adegan yang bagus. Yang terbaru, kisah Lutung Kasarung dan Dewi Purbasari yang diangkat sebagai latar belakang.
Pertama kali melihat, orang mungkin mengiranya sebagai potongan adegan film laga. Ada adegan terbang dengan setting hutan, begitu mirip kisah-kisah pendekar di film laga. Hingga akhirnya kedua tokoh dalam adegan tersebut minum, barulah pemirsa sadar bahwa itu adalah sebuah iklan dari Marjan, sirup terfavorit di bulan Ramadan. Rasa manis dan segar yang ditawarkan dalam segelas minuman, menjadi daya pemikat tersendiri sebagai menu berbuka puasa.
Saat ini produk sirup bukanlah barang istimewa bagi masyarakat. Satu-dua botol sirup biasa tersimpan di dalam kulkas, yang bisa segera dikonsumsi saat dibutuhkan. Namun tidak demikan saat 30 tahun lalu, saat saya masih seorang bocah.
Di tahun 1980'an, sirup produksi pabrik bukanlah barang yang gampang ditemukan. Belum ada minimarket sebanyak saat ini. Toko atau warung yang ada juga masih satu dua saja, dan jarang ada sirup yang dipajang di rak barang dagangan.
Entah berapa harga sebotol sirup waktu itu. Jarang sekali orang membeli sirup. Kalaupun ada, biasanya saat menjelang lebaran saja. Sebotol sirup buatan pabrik seakan menjadi kemewahan tersendiri.
Membuat sirup lazim dilakukan masyarakat, untuk dihidangkan saat hari lebaran. Saya masih ingat ketika saya pernah membeli biang sirup frambozen dan pewarna merah, yang selanjutnya digunakan ibu untuk membuat sirup.
Repot, tentu saja. Namun dengan membuat sirup sendiri, biaya yang dibutuhkan menjadi lebih sedikit daripada membeli sirup buatan pabrik. Soal penampilan dan rasa, ya tentu saja berbeda.Â
Sirup frambozen buatan rumah si A akan berbeda penampilan dan rasanya dari sirup frambozen buatan rumah si B. Tidak jadi masalah, yang penting ada sirup untuk lebaran.
Bagi anak-anak keci seperti saya waktu itu, bertamu ke rumah kerabat atau tetangga akan terasa istimewa jika ada segelas sirup yang dihidangkan. Segelas sirup adalah kemewahan.
Zaman terus berubah, dan tingkat kesejahteraan masyarakat juga bertambah. Sirup bukan lagi barang yang mahal bagi kebanyakan orang saat ini. Membeli sirup buatan pabrik lebih praktis daripada membuatnya sendiri. Berbagai merek sirup gampang ditemukan di pasaran.
Keadaan boleh berubah, namun kenangan masa kecil tak akan sirna. Setiap kali menyaksikan iklan sirup di layar beling. Setiap kali melihat segelas kesegaran bewarna hijau merah atau kuning yang menggoda. Maka saya akan teringat bahwa pada suatu masa sirup pernah menjadi sebuah kemewahan.
Setidaknya bagi sebagian masyarakat, seperti saya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI