Mohon tunggu...
Daniel Mashudi
Daniel Mashudi Mohon Tunggu... Freelancer - Kompasianer

https://samleinad.com E-mail: daniel.mashudi@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ganja dalam Kultur Musik Reggae

5 Februari 2020   21:26 Diperbarui: 5 Februari 2020   23:08 5852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kerap kita melihat sebuah bendera dengan warna merah-kuning-hijau yang di tengahnya terpampang foto Bob Marley, sang legenda musik reggae. Kadang, bendera triwarna itu ada gambar daun ganja. Bagi pemerhati musik reggae, fenomena di atas tentu tak asing lagi.

Ganja dan musik reggae punya hubungan tersendiri. Bahkan ada beberapa lagu reggae yang punya lirik berkaitan dengan daun yang berbentuk mirip tapak tangan tersebut.

Penggemar reggae tentunya mafhum dengan lagu-lagu  Bob Marley seperti Redemption Song, Is This Love, atau No Woman No Cry. Namun ada satu lagu berjudul Kaya yang seakan menjadi tribute atau penghormatan tersendiri terhadap ganja.

Kaya sendiri merupakan kata dalam bahasa Jamaika yang berarti ganja. Kata tersebut berulang kali muncul dalam lirik lagu Kaya.

"Got to have kaya now. Got to have kaya now
Got to have kaya now.  For the rain is falling." 

Tak hanya Kaya, ada lagu-lagu reggae lainnya yang berkelindan dengan ganja. Misalnya saja Legalize It (dinyanyikan oleh Peter Tosh),

"Legalize it. Don't criticize it. 
Legalize it, yeah yeah. And I will advertise it. 

Some call it tamjee. Some call it the weed. 
Some call it marijuana. Some of them call it ganja." 

Lagu-lagu lainnya seperti Free Up The Weed (Lee Perry), I Love Marijuana (Linval Thompson), dan Smoking my Ganja (Capital Letters) juga menyebut ganja dalam liriknya.

Lagu reggae secara blak-blakan menyebut kata marijuana, pot, cannabis, weed, dan ganja dalam lirik-liriknya. Hal tersebut sebagai permintaan untuk melegalisasi ganja, atau membangkitkan pengalaman spiritual tertentu.

Untuk memahaminya, kita perlu melihat lebih jauh reggae yang tak sekedar genre musik serta menggali lebih dalam tentang sejarah sosial dan relijius Jamaika, negara di mana genre tersebut lahir di tahun 1960-an

Reggae merupakan fusi atau gabungan dari musik ska, calypso, rocksteady, dan rock'n' roll. Selain itu, reggae juga menjadi flagship dari Rastafarianisme, sebuah gerakan kultural-sosial-spiritual yang muncul di Jamaika di tahun 1930-an. Rastafarianisme menginginkan agar keturunan budak kulit hitam lebih dekat dengan akar Afrika mereka.

Rastafarianisme

Gerakan Rastafarian diambil dari nama Tafari Makomen, Kaisar Ethiopia dari tahun 1930 hingga 1974, yang dikenal sebagai Haile Selassie. Namun bagaimana nama sang kaisar tersebut dipakai sebagai gerakan di Jamaika, padahal jarak Ethiopia-Jamaika terpisah 12 ribu kilometer?

Selama tahun 1930-an, gerakan Kembali ke Afrika memperoeh momentum saat komunitas keturunan budak kulit hitam mengalami krisis identitas. Di Jamaika, refleksi tersebut diwujudkan oleh Marcus Garvey, yang dijuluki Black Moses.

Marcus Garvey bertindak sebagai nabi dari gerakan tersebut untuk menyatukan seluruh komunitas kulit hitam di dunia. Marcus Garvey sering merujuk Selassie dan Ethiopia dalam pidato dan tulisannya, sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonisasi Eropa.

Kaitannya dengan ganja

Kilas balik ke pertengahan abad ke-19, saat Jamaika menjadi koloni Inggris. Setelah penghapusan jual beli budak di tahun 1807, Inggris mendatangkan pekerja dari India (koloni Inggris lainnya). Orang-orang India tersebut membawa tanaman cannabis dalam koper mereka, dan mereka menyebutnya "ganja". Jadi, kata ganja sendiri asalnya dari bahasa India.

Jamaika menjadi tanah subur untuk menanam ganja. Tanaman ini secara luas dikonsumsi oleh orang-orang Afro-Jamaika. Elit kulit putih yang mengendalikan otoritas politik negara, kemudian memutuskan untuk melarang konsumsi ganja dengan menerbitkan "Ganja Law" pada 1913.

Relaksasi hukum di Jamaika terjadi pada 2015. Kepemilikan ganja kurang dari 2 ounces (56.6 gram) diperbolehkan, dan penanaman 5 atau kurang tanaman ganja tidak dilarang.

Gerakan identitas kulit hitam menggunakan ganja, yang dilarang oleh kaum kulit putih, sebagai simbolis. Banyak penganut Rastafarian memutuskan untuk mengonsumsi ganja sebagai bagian integral dari pengalaman sosial-kultural-spiritual mereka.

Dari sejarah tersebut, reggae dan ganja menjadi simbol dari gerakan Rastafarian di Jamaika.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun