Juwana. Kecamatan ini berada persis di sebelah timur kota kelahiranku, Pati. Dari alun-alun Pati menuju alun-alun Juwana, perjalanan ditempuh selama hampir setengah jam melalui Jalan Raya Pos atau Jalan Daendels yang mengular dari ujung barat ke ujung timur Pulau Jawa.
Meski hanya berjarak belasan kilometer saja dari Pati, aku tidak terlalu banyak mengenal seluk-beluk Juwana. Aku memang pernah satu-dua kali melintas, namun yang aku kenal tentang Juwana sebatas sungai, pelabuhan, dan ikan laut hasil tangkapan nelayan Juwana, atau teman-teman sewaktu aku mengenyam pendidikan  SMP dan SMA di Pati tahun 90-an dulu.Â
Aku punya banyak teman dari Juwana. Muhar, Triyani, Lolita, Suci, Hawan, Retno, dan banyak lagi. Umumnya, teman-teman dari Juwana ini memiliki karakter pejuang keras. Selain itu, mereka juga memiliki kekompakan yang baik.
Hingga akhirnya pada akhir September lalu, ada sebuah keperluan yang membuatku tinggal di Juwana selama dua pekan. Kesempatan ini aku pakai untuk mengenal lebih dalam tentang daerah yang banyak dikenal orang sebagai penghasil ikan bandeng ini.
Alun-alun Juwana tak begitu luas, sekira setengah lapangan sepakbola saja. Saat siang hari, suasananya relatif sepi. Namun di malam hari, para pedagang kuliner memenuhi alun-alun dan sekitarnya.Â
Ada angkringan, ikan bakar, nasi goreng, dan bermacam kuliner lainnya. Aku sempat beberapa kali menikmati kuliner di alun-alun ini.Â
Dari sekian banyak kuiner, favoritku adalah bandeng bakar yang ada di Juwana Town Caf. Di kafe ini aku juga sempat menikmati kopi Jolong dengan cita rasa robusta yang khas.
Bergerak dari alun-alun ke arah timur, ada sebuah jembatan yang melintasi sungai besar, yakni Sungai Silugonggo atau yang disebut juga Sungai Juwana yang mengalir ke arah utara menuju Laut Jawa.Â
Dari jembatan ini bisa dilihat kapal-kapal penangkap ikan berukuran besar higga 100 GT yang sedang berlabuh di sepanjang tepi Silugonggo.
Silugonggo menjadi pusat aktivitas nelayan-nelayan Juwana. Tempat-tempat seperti galangan kapal, pelabuhan, dan TPI (tempat pelelangan ikan) bisa ditemui di tepi bengawan ini, bukan di pesisir pantainya. Silugonggo bagai urat nadi yang menghidupi Juwana.
Tempat pembuatan kapal ini berada tak jauh dari Jalan Raya Daendels. Ada empat kapal besar yang aku lihat tengah dibuat saat itu. Juwana sendiri menjadi salah satu tempat pembuatan kapal di pesisir utara Jawa Tengah, selain Rembang dan Lasem.
Kesibukan lain yang tak kalah serunya adalah proses pelelangan ikan di TPI Juwana yang berlokasi di Desa Bajo (Bajomulyo) yang berada di sisi barat Sungai Juwana. Aku sempat beberapa kali berkunjung ke TPI ini. Waktu yang tepat untuk datang di jam 7 atau 8 pagi, saat kesibukan baru saja dimulai.
Para pekerja kemudian membawa ikan dengan bantuan troli ke bangunan TPI. Ikan-ikan tersebut disusun dalam sap-sap tertentu.
Setelah selesai disusun, proses pelelangan ikan dimulai. Juru lelang duduk di kursi tinggi, seperti kursi wasit pada pertandingan bulutangkis, dan kemudian melakukan lelang.Â
Ia akan menyebut angka-angka dalam bahasa Jawa yang menunjukkan harga lelang, dan aku hampir tidak bisa menangkap dengan jelas karena ia berkata begitu cepat. Pada harga tertentu, para pembeli akan mengangkat tangan sebagai persetujuan harga lelang.
Bergerak lebih lanjut ke arah utara, ada sebuah tempat yang dinamakan Seprapat. Dahulu tempat ini adalah sebuah pulau atau delta di aliran Sungai Juwana, terpisah dari daratan. Namun karena pendangkalan, Seprapat akhirnya menyatu dengan daratan Juwana.
Pohon-pohon di Seprapat berukuran lebih tinggi dan lebih rapat jika dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Tak heran jika Seprapat terasa lebih adem meski sedang musim kemarau.Â
Di Seprapat ada sebuah cungkup makam  Syeh Abdul Rochman atau yang dikenal dengan sebutan Mbah Datuk Lodang.
Di Desa Bendar yang berada di sisi timur ungai, nelayan tak tinggal di gubuk reyot, tapi di rumah-rumah seperti istana. Rumah besar dengan dua lantai, pilar-pilar tinggi, lantai berlapis marmer, dan atap genteng beton banyak dijumpai di Bendar.
Dahulu memang nelayan Juwana tidak sejahtera. Kehidupan mereka mulai membaik ketika pemerintah mengeruk Sungai Juwana tahun 1980-an. Sebelumnya, pelumpuran sempat mematikan Juwana.Â
Dengan ramainya kapal ke Sungai Juwana setelah pengerukan itu, maka denyut perekonomian semakin mengencang.
Keberhasilan yang terjadi di Bendar menular ke luar desa. Ratusan petani di sebelah selatan Jalan Raya Daendels ikut bergantung kepada nelayan Bendar.Â
Seusai musim tanam, para petani tersebut datang ke Bendar untuk menjadi ABK. Sejak tahun 1980-an, seiring lonjakan ekonomi Bendar, desa ini memang mulai kekurangan awak kapal. Hampir semua nelayan memiliki kapal sendiri, bahkan ada yang punya lebih dari 1 kapal.
Hubungan kekerabatan begitu kental di Bendar. Nakhoda kapal dan motoris (kepala mesin) kebanyakan memiliki hubungan saudara dengan pemilik kapal. Selain itu di Bendar juga tidak beraku sistem ijon, tetapi bagi hasil.Â
Nakhoda dan kru biasanya juga memiliki saham di kapal yang mereka operasikan. Dengan hubungan kekerabatan dan pembagian saham ini, kemungkinan kecurangan berupa penjualan hasil tangkapan di tengah laut jarang terjadi.
Ah, andai saja kesuksesan nelayan Juwana juga terjadi di banyak tempat lainnya. Andai juga setiap sungai di negeri ini bisa seperti Silugonggo, urat nadi yang terus berdenyut seiring dengan kesejahteraan warga sekitarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H