Animasi di Indonesia
Film animasi Indonesia hingga saat ini memang masih bermain di media elektronik seperti televisi dan internet. Hanya 1 film yang saya ingat, yakni Battle of Surabaya yang sempat sukses di layar lebar beberapa tahun lalu, sementara animasi di Indonesia sendiri sudah memiliki sejarah yang lumayan panjang.
Pada tahun 1950-an nama Walt Disney mendunia dengan karya animasinya. Presiden RI pertama Ir. Soekarno tertarik untuk mempelajarinya. Beliau mengirim Dukut Hendronoto (Pak Ooq) ke Disney untuk belajar animasi. Pak Ooq kemudian kembali ke Indonesia dan mulai membuat iklan animasi untuk pemilihan umum yang berjudul "Si Doel Memilih". Tahun 1963 Pak Ooq bergabung dengan TVRI dan mengembangkan program animasi. Karena dinilai menghabiskan anggaran, program ini akhirnya tidak berlanjut.
Hingga tahun 1970-an, animasi di tanah air hanya sebatas iklan saja. Kemudian pada 1974 Dewan Kesenian Jakarta memprakarsai Festival Mini untuk merangsang tumbuhnya film-film animasi pendek. Film "Kayak Beruang" karya Dwi Koendoro dan Pramono menjadi juara satu di festival ini. Mulai akhir 1970-an, muncullah film animasi dalam negeri. Seperti misalnya "Timun Mas" karya Drs. Suyadi (1979), "Rimba Si Anak Angkasa" karya Wagiono Sunarto (1980), dan "Si Huma" karya Partono Soenyoto (1980) yang semuanya ditayangkan di TVRI.
Masuknya stasiun-stasiun televisi swasta sejak tahun 1989 juga ikut memberi andil terhadap film animasi Indonesia. Dalam perkembangannya, film-film animasi Indonesia memiliki kualitas yang semakin baik dan diterima dengan baik oleh masyarakat seperti film "Battle of Surabaya" yang sempat masuk layar bioskop.
Budget yang Besar
Salah satu pertimbangan dalam membuat film layar lebar adalah mengenai budget. Seorang produser akan berpikir berulang kali, apakah budget yang dikeluarkan akan sebanding dengan pendapatan yang akan diperolehnya. Film animasi sendiri merupakan salah satu genre yang memerlukan budget tidak sedikit. Dikutip dari sumber ini, film adventure, sci-fi, fantasi, dan animasi adalah film-film yang membutuhkan budget besar jika dibandingkan dengan film yang lain. Median budget dari masing-masing film tersebut bisa pada tabel di bawah.
Untuk film-film kelas internasional yang sukses, tentunya budget yang dikeluarkan jauh lebih besar. Film Avatar yang sukses 10 tahun lalu, mempunyai budget produksi sebesar USD 425 juta dan tercatat sebagai film berporduksi paling mahal. Film-film mahal lainnya misalnya Pirates of Carribean: On Stranger Tides (2011) berbudget USD 410,6 juta dan Avengers: Endgame (2019) dengan budget USD 400 juta. Daftar film-film berbudget tinggi bisa dilihat di sini, yang sebagian besar memang bergenre adventure, sci-fi, fantasi, dan animasi.
Untuk film dalam negeri, rekor film dengan biaya jor-joran dipegang oleh Fotrot Six dengan biaya Rp 70 miliar (USD 5 juta). Film ini sempat masuk box office pada bulan Februari 2019 lalu. Namun tidak semua film berbiaya produksi mahal akan sukses di pasar. Tercatat beberapa film sepi penonton dan tidak sebanding dengan biaya pembuatannya yang mahal, seperti Gunung Emas Almayer (2014) - Rp 60 milyar, Trilogi Merdeka (2009-2011) -- Rp 64 miliar, atau Pendekar Tingkat Emas (201) -- Rp 25 miliar.