Berbicara mengenai film, khususnya animasi, saya teringat masa tahun 1980-an dahulu ketika saya masih berada di bangku SD. Saat itu ada beberapa cara yang dilakukan oleh para murid untuk mengisi waktu sambil menunggu kedatangan guru pengajar. Salah seorang teman yang memiliki kemampuan menggambar yang baik. Ia menggambar, pada pojok kanan bawah halaman buku tulis, seorang laki-laki yang tengah berdiri dengan kedua tangan merapat pada dada. Di lembar berikutnya, juga pada bagian pojok kanan, digambarnya laki-laki yang sama namun dengan salah satu tangan sedang digerakkan lurus ke depan.
Setelah kedua gambar tersebut selesai, ia memegang ujung kanan bawah lembar pertama. Dengan gerakan sedemikan rupa, dibaliknya lembar pertama tersebut lalu sehingga terlihat lembar kedua. Dari lembar kedua, ia kembali lagi memperlihatkan lembar pertama, ke lembar kedua lagi, begitu seterusnya. Gerakan berulang dalam frekuensi lumayan cepat tersebut akhirnya membuat figur laki-laki yang ada di gambar seolah-olah bergerak melakukan tinju atau pukulan ke depan berulang. Mirip gerakan Elly Pical, atlet tinju nasional yang sangat terkenal pada masa itu.
Apa yang dilakukan oleh teman saya tersebut adalah dasar dari sebuah film animasi, film yang berasal dari pengolahan gambar tangan sehingga menjadi gambar yang bergerak. Pada saat perkembangan awal, film animasi banyak menggunakan teknik stop motion. Teknik ini menggunakan serangkaian gambar diam atau frame yang dirangkai dan menimbulkan kesan seolah-olah gambar tersebut bergerak.
Teknik ini sangat sulit dan butuh waktu dan biaya yang tidak sedikit. Untuk membuat animasi selama satu detik, dibutuhkan sebanyak 12-24 frame gambar diam. Perkembangan teknologi ikut memengaruhi pembuatan film animasi dari yang semula memakai teknik stop motion. Perkembangan teknologi komputer memunculkan animasi yang bermacam-macam jenisnya, ada 2 dimensi (2D) dan 3 dimensi (3D).
Penemuan teknologi digital turut mempengaruhi perkembangan animasi. Teknologi digital mampu menghadirkan visual yang realistis. Penanda besar era ini adalah kehadiran film Toy Story, animasi 3D panjang pertama produksi studio Pixar pada tahun 1995. Sejak itulah teknologi digital terus menghasilkan karya animasi yang semakin berkualitas.
Saya cukup menyukai tayangan animasi, atau yang disebut juga dengan film kartun. Beberapa serial kartun di televisi seperti Tom and Jerry atau Mickey Mouse menjadi kesukaan saya sewaktu kecil. Di masa sekarang, beberapa film animasi layar lebar juga sempat saya saksikan, seperti Transformers yang sudah dirilis dalam beberapa seri. Semua animasi tersebut produksi Amerika. Bagaimana dengan animasi produksi tanah air?
Tahun 2011 lalu saya sempat dibuat kagum oleh sebuah animasi pendek berjudul "Pada Suatu Ketika" yang saya tonton di Youtube. Film berdurasi 4 menit karya Lakon Studio ini  bisa dibilang sebagai "Transformers" rasa Indonesia. Adegan di film singkat tersebut menunjukkan bagaimana bajaj, sepeda motor, hingga bus metromini berubah menjadi robot, meniru film Transformers produksi Amerika.
Pada kanal Lakon Studio di Youtube, Â kita bisa melihat beberapa video animasi singkat. Selain Pada Suatu Ketika, ada pula Mars Goes Green, Keong Mas, Patung Jenderal Sudirman, hingga yang terakhir yaitu MRT Coaster. Kualitas animasinya pun cukup bagus.
Banyak asa yang sempat tercipta, agar Lakon Studio bisa melanjutkan karyanya dengan membuat animasi layar lebar. Setidaknya untuk memberi warna baru perfilman Indonesia yang masih belum beranjak dari tema yang itu-itu saja seperti drama, keluarga, sejarah, hingga horor. Namun, Lakon Studio sendiri bukanlah sebuah rumah produksi atau studio produksi, melainkan sebuah lembaga pelatihan. Kapasitasnya untuk mencetak SDM di dunia animasi.