Hari Jumat (5/7) jam 9 pagi saya berada di Pura Aditya Jaya yang berada di Rawamangun. Sejumlah remaja dan pemuda hadir di tempat peribadatan umat Hindu tersebut, walaupun tak semua dari mereka beragama Hindu. Putra-putri Indonesia yang berasal dari beragam daerah, suku, agama, dan golongan tersebut tergabung dalam program Sabang Merauke.
Mengenal keberagaman agama menjadi kegiatan di hari Jumat tersebut. Dua tempat peribadatan menjadi lokasi yang dikunjungi, yaitu Pura Aditya Jaya dan Wihara Dhammacakka Jaya yang berlokasi di Sunter. Sehari sebelumnya (4/7), tiga tempat peribadatan telah dikunjungi yaitu Gereja Katedral, Masjid Istiqlal, dan Gereja Imanuel.
Sama seperti pura lainnya, struktur Pura Aditya Jaya menggunakan struktur Tri Mandala. Struktur tersebut terdiri dari Kanistha Mandala (halaman luar), Mahdyama Mandala (halaman tengah), dan Uttama Mandala (halaman utama).
Seorang bapak berusia lanjut yang menjadi pemandu menjelaskan beberapa peraturan peribadatan. Misalnya tentang penggunaan dupa, kembang jepun, dan selendang yang diikat ke pinggang. Alas kaki (sepatu, sandal, dan kaos kaki) harus dilepas. Peserta Sabang Merauke terlihat memerhatikan dengan seksama, dan mematuhi aturan tersebut. Sebelum masuk lebih lanjut ke halaman utama, para peserta berfoto sejenak di depan gapura yang menghubungkan halaman tengah dan utama.
Peserta kemudian masuk ke halaman utama pura. Pemandu menjelaskan bangunan-bangunan yang ada, juga kegiatan atau prosesi yang dilaksanakan di tiap bangunan tersebut. Dua peserta wanita kemudian memeragakan Rejang Dewa. Dengan anggunnya keduanya menari di hadapan peserta lain.
Jam 11.30 rangkaian acara di Pura Aditya Jaya berakhir. Para peserta menikmati makan siang dan selanjutnya yang beragama muslim menjalankan ibadah sholat Jumat di masjid yang letaknya tak jauh dari pura, sebelum kemudian menuju ke Wihara Dhammacakka Jaya di Sunter.
Jam 2 siang seluruh peserta tiba di Wihara Jakarta Dhammacakka Jaya. Wihara ini merupakan sebuah wihara Therawada pertama yang memiliki prasarana penahbisan bhikkhu di Indonesia. Wihara yang berlokasi di Sunter, Jakarta Utara ini didirikan untuk menjadi mother temple atau induk bagi wihara-wihara Therawada lain di Indonesia.
Agama Budha memiliki beberapa aliran besar. Misalnya aliran Mahayana yang banyak dianut oleh umat Budha di Jepang dan China. Sementara aliran Therawada banyak dianut oleh umat yang berada Thailand dan Srilanka.
Peletakan batu pertama pembangunan wihara dilakukan pada 2 September 1982. Wihara selesai dibangun dan diresmikan pada tahun 1985. Di dinding luar wihara terdapat relief-relief yang menggambarkan kehidupan Sang Budha. Relief-relief yang bisa dilihat di sekeliling dinding luar wihara tersebut mencontoh relief yang ada di Candi Borobudur. Di dalam ruang wihara terdapat Budha Rupang (patung Budha) yang juga mengambil bentuk patung Budha di Candi Borobudur.Â
Patung tersebut dibuat di Thailand dan upacara pengecoran Budha Rupang dilakukan pada tanggal 16 April 1985, di Wat Bovoranives Vihra, Bangkok. Masyarakat Thailand berbondong- bondong hadir dengan khidmat dalam upacara pengecoran Buddha Rupang untuk Indonesia. Mereka ikut menyumbangkan perhiasan seperti kalung, cincin, gelang dari logam mulia, ataupun uang tunai sebagai dana bagi pengecoran Buddha Rupang.
Buddha Rupang tersebut berukuran tinggi 3,19 meter, lebar alas 2,6 meter, dan berat mendekati tiga ton. Untuk dapat masuk ke dalam Uposathgra, pintu gerbang gedung terpaksa dibongkar lebih dahulu. Pada awalnya rupang yang terbuat dari logam tersebut berwarna kehitaman. Lalu banyak umat yang menempelkan kertas emas (kimpo) ke permukaannya. Akhirnya pada tahun 1986, seluruh permukaan Buddha Rupang tersebut dilapisi dengan kertas emas hingga warnanya secara keseluruhan menjadi keemasan.
Selain mendapatkan banyak informasi mengenai sejarah Wihara Jakarta Dhammacakka Jaya, peserta Sabang Merauke juga melakukan tanya jawab seputar agama Budha. Rangkaian acara kemudian ditutup dengan foto bersama.
Sabang Merauke (Seribu Anak Bangsa Merantau untuk Kembali) adalah program pertukaran pelajar antar daerah di Indonesia yang bertujuan untuk menanamkan semangat toleransi, pendidikan, dan keindonesiaan.
Dalam program ini, 20 anak dari berbagai daerah di Indonesia akan tinggal bersama keluarga asuh yang berbeda agama atau budaya, serta berinteraksi dengan teman-teman dari berbagai latar belakang selama 3 minggu. Setelah kembali ke daerahnya, mereka akan menyebarkan nilai-nilai perdamaian di daerahnya masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H