Setiap kali menyinggung soal Tano Batak, kenangan pun terlempar menuju pertengahan 2013 ketika saya berkesempatan mengunjungi Danau Toba. Siang cukup terik di bulan Juni saat saya turun dari feri di Tomok, Samosir setelah beberapa menit sebelumnya bertolak dari Parapat. Suasana yang tenang dan damai mengental bersama alunan khas musik Batak yang terus terdengar dari angkutan umum yang saya naiki dari Tomok menuju Pangururan. Meski hanya dua hari berada di Samosir, saya begitu terkesima dengan keunikan tempat ini.
Selain alamnya yang indah, budaya Batak masih terjaga di tempat asalnya ini. Rumah-rumah adat yang khas berdiri di perkampungan yang berhawa sejuk. Saya masih bisa mengingat kedamaian yang menyelimuti saat berjalan kaki di sekitar danau Toba saat pagi. Dilanjutkan dengan menikmati sarapan di pinggir danau yang berwarna keperakan, peristiwa ini menjadi salah satu momen yang tak terlupa bagi saya. Kenangan yang tesimpan selama dua tahun lalu itu muncul kembali saat menghadiri Festival Kuliner Serpong (FKS). Festival yang tahun ini mengusung tema kuliner dan budaya Batak setidaknya bisa mengingatkan saya kepada kunjungan 2013 itu.
Berada di area parkir selatan Summarecon Mal Serpong, FKS kembali hadir menyapa masyarakat di gelaran yang ke-5 tahun ini. Sebelumnya FKS sukses memperkenalkan kekayaan budaya dan kuliner dari Bali, Sumatera Barat, Jawa dan Sulawesi. Tema yang diusung tahun ini adalah “Horas… Beta Mangan Hita”, yang akan mengajak para pengunjung untuk menikmati kekayaan kuliner dan budaya Batak. Saya bersama beberapa kompasianer lain yang tergabung dalam Kompasianer Penggila Kuliner (KPK) menyempatkan hadir di FKS pada hari Sabtu, 29 Agustus kemarin.
Menginjakkan kaki di area FKS, kekentalan budaya Batak langsung terasa melalui bentuk bangunan-bangunan yang dipergunakan sebagai stand makanan. Tiga bangunan rumah bolon (rumah besar) menjadi titik pusat di area FKS, yang sekaligus diperuntukkan sebagai panggung utama. Beberapa pertunjukan seni di adakan di area ini, dengan menghadirkan beberapa artis seperti Viky Sianipar, Alex Rudiart Hutajulu, Victor Hutabarat, dan nama-nama lainnya. Sayangnya ketika kami berkunjung kemarin, sedang tidak ada pertunjukan seni. Sebagai gantinya, alunan gendang dan seruling yang memainkan lagu-lagu Batak diputar melalui pengeras suara untuk menemani pengunjung.
Di bagian tengah area festival, sebuah bangunan tinggi menjadi aksen menarik. Bagunan ini adalah replika Tugu Berastagi, yang merupakan tugu revolusi di tempat asalnya. Tugu ini merupakan tugu revolusi yang menjadi saksi sejarah di Kota Berastagi Kabupaten Karo. Bila diperhatikan seksama, tugu ini memiliki 5 sisi yang pada bagian puncaknya terdapat beberapa patung dan bendera merah putih. Di bawah patung-patung tersebut, pada masing-masing sisi bangunan tugu bisa kita lihat lambang dari masing-masing sila dari Pancasila. Selain rumah bolon dan Tugu Berastagi, aksen budaya Batak terlihat dari beberapa petugas yang mengenakan pakaian adat.
Lapo Ni Tondongta Senayan, adalah salah satu gerai yang menyajikan kuliner khas Batak. Tempat inilah yang pertama kali saya kunjungi. Salah satu masakan Batak favorit saya adalah arsik, yang hampir selalu saya pesan setiap kali datang ke lapo-lapo Batak. Dan arsik inilah menu yang saya pesan di Lapo Ni Tondongta. Arsik adalah masakan berbahan ikan mas yang diolah sedemikian rupa. Bentuknya mirip dengan gulai yang berwarna kekuningan, dengan rasa pedas. Sebagai pelengkap, daun singkong yang ditumbuk sangat pas untuk menggugah selera makan.
Perlu diperhatikan bagi pengunjung beragama muslim, beberapa menu yang ada di Lapo Ni Tondongta ini adalah non halal. Namun tidak perlu khawatir, beberapa gerai lainnya yang menyediakan kuliner dari daerah lain bisa dijadikan pilihan. Ada nasi liwet Solo, nasi goreng kambing Kebon Sirih, srabi Notosuman, sate ayam Blok S dan beberapa menu lainnya. Untuk minuman, pengunjung bisa menikmati dawet, es durian yang juga disediakan di beberapa gerai. Tak hanya menikmati makanan dan minuman lezat, di beberapa gerai pengunjung juga bisa melihat bagaimana proses pembuatan masakan seperti yang sempat saya saksikan ketika sang koki memasak nasi goreng kambing Kebon Sirih, atau martabak Medan.
Alat transaksi yang berlaku di FKS 2015 ini berupa kartu yang dapat diisi dengan nominal saldo di beberapa titik booth kasir FKS. Kartu inilah yang dipergunakan oleh pengunjung sebagai alat transaksi sah di seluruh gerai FKS. Uang tunai tidak berlaku, seperti pengalaman saya kemarin. Ketika saldo kartu saya tinggal 42 ribu rupiah dan membeli makanan plus minum seharga 45 ribu, maka kekurangannya yang hanya beberapa ribu rupiah saja tidak bisa dibayar dengan uang tunai.
FKS 2015 ini juga mengadakan kegiatan peduli lingkungan dengan tema Go Green Technolicious, yang bertujuan mengajak pengunjung untuk peduli lingkungan dengan mengumpulkan sampah berupa botol plastic. Dengan hanya membawa 2 botol plastik teh dengan merk tertentu, pengunjung bisa menukarkannya dengan satu kupon undian untuk berkesempatan memenangkan hadiah berupa gadget terbaru.
Kunjungan saya di FKS 2015 berakhir saat tiga seniman tengah menghibur pengunjung dengan menyanyikan lagi Gereja Tua yang melegenda itu. Dua dari mereka memainkan gitar, dan satu orang menabuh cajon. Suara-suara indah berharmonisasi khas Tapanuli Utara mengalun merdu seiring langkah saya meninggalkan area FKS. Nah, bagi rekan-rekan kompasianer yang berada di Tangerang dan sekitarnya, even Festival Kuliner Serpong 2015 ini bisa dijadikan pilihan berkuliner. Even yang sudah dimulai sejak 14 Agustus 2015 yang lalu, akan berakhir seminggu lagi yaitu pada tangal 6 September 2015 nanti.
**
Lihat Travel Story Selengkapnya