Beberapa saat lamanya saya terpaku memandang sebuah benda yang berada di depan saya. Tak dapat saya menahan jari-jari untuk tidak memegang mesin jahit berbahan besi baja yang berwarna merah itu. Lalu saya membayangkan bagaimana jarum mesin jahit bergerak-gerak sedemikian rupa untuk menyambung dua helai kain. Hingga akhirnya sebuah benda bersejarah bagi bangsa ini pun tercipta, bendera merah putih yang akhirnya berkibar gagah pada tanggal 17 Agustus 1945.
[caption id="attachment_303059" align="aligncenter" width="640" caption="Mesin jahit warna merah yang bersejarah"][/caption]
***
Jam 10 pagi saya tiba di simpang lima Bengkulu, setelah sebelumnya dua kali naik angkutan umum warna putih dari bandara Fatmawati Soekarno ke terminal, dan angkutan umum warna kuning dari terminal ke simpang lima dimana terdapat patung seseorang yang sedang menunggang kuda dengan membawa bendera merah putih. Sebuah warung bakso Solo yang berada di seberang kantor walikota menjadi tujuan saya untuk mengisi perut. Usai menikmati bakso, saya berjalan kaki menuju Jalan Fatmawati dan beberapa saat kemudian tibalah saya di rumah nomor 10.
Begitu masuk ke halaman rumah, tak ada seorang pun yang saya lihat berada di rumah Ibu Fatmawati saat itu meski pagar dan pintu rumah panggung itu sudah terbuka. Rumah yang berukuran tak terlalu besar itu terbuat dari kayu bercat coklat, dengan kaki-kaki penyangga yang terbuat dari beton bercat putih. Masuk ke beranda dan kemudian ruang tamu, saya masih tak menjumpai satu orang pun di dalam ruangan.
[caption id="attachment_303060" align="aligncenter" width="640" caption="Simpang lima kota Bengkulu"]
[caption id="attachment_303061" align="aligncenter" width="640" caption="Rumah Ibu Fatmawati Soekarno"]
Mata saya segera menyapu ruang tamu. Sepasang foto Bung Karno dan Ibu Fatmawati tepat berada di tengah ruangan, mengapit sebuah ‘lorong’ untuk menuju ruang di bagian dalam. Lalu saya bergerak ke sisi kanan ruang tamu itu, dimana terdapat satu set meja-kursi kayu. Sebuah buku pengunjung yang berada di atas meja pun saya buka, lalu saya menulis nama di buku tersebut. Sementara di sisi kiri ruang tamu terpajang foto-foto Ibu Fatmawati, di antaranya foto saat beliau ikut melepas keberangkatan pasukan Garuda ke Kongo, foto beliau ketika menumpang sebuah becak, hingga foto beliau saat pengibaran bendera pada peristiwa proklamasi 17 Agustus 1945.
Ibu Fatmawati yang bernama asli Fatimah lahir di Bengkulu pada 5 Februari 1923 dari pasangan Hassan Din dan Siti Chadijah. Hassan Din sendiri adalah seorang tokoh Muhammadiyah di Bengkulu. Ibu Fatmawati menikah dengan Bung Karno pada 1 Juni 1943, setelah sebelumnya keduanya bertemu pada saat pengasingan Bung Karno di daerah Anggut Atas, Bengkulu tahun 1938-1942. Dari pernikahan pasangan ini, lahirlah Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri dan Guruh Soekarnoputra. Beliau meninggal 14 Mei 1980 di Kualalumpur, Malaysia.
[caption id="attachment_303062" align="aligncenter" width="640" caption="Foto Bung Karno dan Ibu Fatmawati "]
[caption id="attachment_303063" align="aligncenter" width="640" caption="Meja-kursi di ruang tamu"]
[caption id="attachment_303064" align="aligncenter" width="640" caption="Foto-foto di sisi kiri ruang tamu"]
Dari ruang tamu, saya bergerak masuk ke ruangan selanjutnya. Dua ruangan saling berhadapan, di sebelah kiri adalah kamar tidur. Di ruang ini terdapat kamar tidur yang lengkap dengan kelambunya yang berwarna putih. Bergerak ke kamar di sebelah kanan, sebuah kursi dan meja yang di atasnya terdapat mesin jahit berwarna merah. Mesin jahit inilah yang dipakai Ibu Fatmawati untuk menjahit bendera pusaka yang dikibarkan di Pegangsaan Timur 56 Jakarta pada saat kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.
[caption id="attachment_303065" align="aligncenter" width="640" caption="Tempat tidur lengkap dengan kelambu"]
[caption id="attachment_303066" align="aligncenter" width="640" caption="Mesin jahit yang dipergunakan untuk menjahit bendera pusaka"]
Mungkin hanya 15-20 menit saja saya berkunjung ke Rumah Ibu Fatmawati ini. Selain karena memang saya telah cukup puas melihat setiap ruangan dan benda-benda yang ada di dalamnya, juga karena ada perasaan enggan berlama-lama mengingat tak ada seorang pun di situ. Namun kunjungan singkat ini setidaknya telah membawa saya untuk menyaksikan salah satu tempat bersejarah di bumi raflesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H