Pertambangan, seperti halnya kegiatan lain, selalu memberikan dampak baik positif maupun negatif.  Kegiatan pertambangan yang mengambil kekayaan mineral dan mengubahnya menjadi bahan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, berlangsung dalam waktu yang relatif lama dan melibatkan jumlah sumber daya yang besar. Banyak hal yang akan ‘diwariskan’ oleh pertambangan seperti perubahan bentang alam, isu-isu lingkungan dan sosial, dan hal-hal lain.
Perubahan bentang alam yang cukup besar akibat kegiatan pertambangan bisa kita lihat pada tambang Bingham Canyon di Amerika Serikat. Berlokasi di dekat Salt Lake City, Utah, tambang tembaga yang mulai beroperasi pada tahun 1906 ini telah menjadi lubang terbesar di muka bumi yang diciptakan oleh manusia, yaitu dengan lebar sekitar 4.5 km dan kedalaman 1.5 km. Tambang Bingham Canyon pernah mengalami longsor besar pada April 2013 yang merusak 14 haul truck dan 3 shovel truck, namun tidak ada korban jiwa karena longsor tersebut bisa terdeteksi sebelumnya oleh teknologi yang dipakai sehingga evakuasi telah dilaksanakan sebelum terjadinya bencana.
[caption id="attachment_353482" align="aligncenter" width="560" caption="Tambang Bingham Canyon (sumber: www.miningglobal.com)"][/caption]
[caption id="attachment_353483" align="aligncenter" width="560" caption="Longsor di Bingham Canyon (sumber: www.miningglobal.com)"]
Di Siberia, Rusia, Tambang Mirny (disebut juga Mir) memberikan ‘warisan’ lubang terbesar kedua di dunia setelah Bingham Canyon. Lubang yang diwariskan oleh Mir memiliki lebar 1,2 km dan kedalaman 525 meter. Penggalian pit (lubang tambang) dimulai pada tahun 1955 oleh pemerintah Uni Soviet. Setelah runtuhnya era Uni Soviet di tahun 1990-an, tambang Mir sempat berpindah tangan ke beberapa perusahaan local sebelum ditutup pada tahun 2004. Area sekitar lubang tambang tidak boleh dilintasi oleh helikopter, mengingat beberapa kecelakaan helikopter yang jatuh akibat tertarik oleh aliran udara di lubang tersebut.
[caption id="attachment_353484" align="aligncenter" width="560" caption="Tambang belian Mirny (sumber: www.amusingplanet.com)"]
Di Indonesia sendiri, warisan tambang biasanya identik dengan gembar-gembor soal kerusakan lingkungan. Hal tersebut memang tak sepenuhnya salah, mengingat di beberapa tempat seperti Bangka, Belitung, Kalimantan, kita bisa melihat lubang menganga atau lahan tandus yang terjadi akibat pertambangan baik ketika proses masih berlangsung atau sudah selesai. Lalu adakah kegiatan pertambangan di Indonesia yang tidak memberikan warisan berupa kerusakan alam, justru sebaliknya mengembalikannya menjadi hutan hijau sebagaimana sebelum pertambangan dilakukan?
Warisan yang ditinggalkan oleh kegiatan pertambangan menentukan masa depan industri pertambangan. Tambang yang ditelantarkan begitu saja dan timbulnya masalah terkait lingkungan dalam jangka panjang memengaruhi reputasi industri pertambangan tersebut. Wajar jika kalangan industri perlu menyadari bahwa akses untuk mendapatkan sumber daya di masa mendatang sangat tergantung bagaimana mereka secara efektif bisa melakukan penutupan tambang dengan baik.
Secara ideal memang tambang hanya akan tutup ketika sumber dayanya sudah habis dan rencana penutupan tambang telah tersedia, walaupun dalam praktiknya tambang bisa tutup secara prematur sebelum cadangan mineral diekstraksi seluruhnya. Penutupan prematur ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti politik, ekonomi (biaya yang tinggi sehingga menyebabkan perusahaan pailit), teknis (kerusakan mesin dan alat-alat operasi), perubahan regulasi, tekanan dari masyarakat, bencana alam dan faktor-faktor lainnya.
Penutupan tambang yang bertanggung jawab perlu memerhatikan isu-isu lingkungan dan masalah sosial-ekonomi, selain aspek bisnis. Dari segi lingkungan, titik pusat penutupan tambang adalah rehabilitasi lingkungan dengan memastikan bahwa bentang alam pasca-tambang aman dan stabil dari sudut pandang fisik, geokimia dan ekologi. Kualitas sumber daya air di sekitar tambang juga harus terlindungi sehingga layak dikonsumsi. Juga rencana penggunaan lahan pasca-tambang perlu direncanakan dengan baik. Dari segi sosial-ekonomi, perlu adanya komitmen untuk meminimalkan dampak negatif pertambangan pada masyarakat dan juga mengkaji cara untuk mempertahankan atau meningkatkan kesejahteraan dan keberlanjutan sosial (social sustainability) pada masyarakat yang terkena dampak.
PT Newmont Minahasa Raya (NMR) dan PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) menjadi contoh dari perusahaan yang telah dan sedang melakukan tanggung jawabnya terkait permasalahan lingkungan dan sosial-ekonomi di atas. PT NMR yang mengoperasikan tambang emas di Ratatotok dan Buyat, Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara sejak tahun 1996 dan berakhir pada tahun 2004, saat ini berada pada fase penutupan tambang dengan meninggalkan jejak hijau sebagai warisan tambangnya. Sementara PT NNT yang masih melakukan kegiatan pertambangan di Batu Hijau, Sumbawa Barat, Nusa Tengara Barat, juga tetap memerhatikan lingkungan dengan melakukan reklamasi dan pemantauan kualitas air di sekitar tambang.
Reklamasi Lahan Tambang
Berkesempatan berkunjung ke lokasi tambang PT NNT, secara langsung saya menyaksikan kegiatan reklamasi yang dilakukan di Batu Hijau, Sumbawa Barat. Beberapa area tambang PT NNT mulai kembali hijau dan menjadi hutan, seperti yang pernah saya paparkan pada tulisan saya sebelumnya.
[caption id="attachment_348157" align="aligncenter" width="560" caption="Reklamasi di Batu Hijau, Sumbawa Barat (dok. pribadi)"]
Mengenai reklamasi oleh PT NMR di Minahasa, pada September 2013 Tribun Manado menuliskan bahwa ditemukan sebanyak 155.814 pohon tumbuh dengan baik dan terdapat 145 spesies dari 59 famili pepohonan yang ada di hutan reklamasi di lahan seluas 240,41 hektar. Survey yang dilakukan teratur selama 10 tahun juga menemukan 109 jenis burung menetap dan migrasi di hutan reklamasi lahan tambang seperti Rangkong Sulawesi (Aceros cassidix), Kadalan Sulawesi (Phaenicophaeus calyorhyncus), dan Yellow Sided Flowerpecker (Dicaeum aureolimbatum) dan bahkan ditemukan juga hewan langka endemik seperti monyet kerdil (Tarsius sp). Area hutan reklamasi PT NMR ini bahkan telah menjadi tujuan studi banding beberapa perusahaan tambang dalam maupun luar negeri.
Penanaman Mangrove
Proses rehabilitasi dengan penanaman mangrove dilakukan oleh PT NNT di Desa Aik Kangkung, salah satu desa yang berada di lingkar tambang batu Hijau. Pohon-pohon bakau tersebut berukuran sekitar 1 meter tingginya ketika saya berkunjung pada bulan Januari 2015 lalu.
[caption id="attachment_353481" align="aligncenter" width="560" caption="Penanaman mangrove di Aik Kangkung (dok. pribadi)"]
Sementara di Minahasa, salah satu peserta bootcamp angkatan sebelumnya menuliskan pengalamannya saat berkunjung ke Buyat tahun 2013 lalu. PT NMR bekerjasama dengan LSM setempat telah menanam 50 ribu pohon bakau di lahan seluas 5 hektar di kawasan pesisir Ratatotok dan Buyat.
Pengembangan Ecotourism
Pantai Maluk di Sumbawa Barat adalah salah satu pantai yang cukup indah. PT NNT ikut mengembangkan kegiatan wisata di pantai ini dengan membangun beberapa pondok atau warung makan yang menghadap langsung ke laut.
[caption id="attachment_349132" align="aligncenter" width="560" caption="Pantai Maluk, Sumbawa Barat"]
Sementara itu, PT NMR membangun beberapa fasilitas penunjang di Pantai Lakban dan Teluk Buyat. PT NMR juga menggagas program pengembangan habitat baru di bawah laut dengan pembuatan dan penempatan reefball di Teluk Buyat. Program reefball ini merupakan program swasta terbesar didunia dengan menempatkan lebih dari 3.000 buah reefball di Teluk Totok dan Teluk Buyat. Hal ini menjadikan Teluk Buyat memiliki banyak titik penyelaman (30 titik selam) yang bisa dinikmati oleh para wisatawan.
Tanggung Jawab Kemasyarakatan
Beberapa program yang telah dilaksanakan oleh PT NNT sebagai salah satu bentuk tanggung jawab sosial adalah program coco net (jarring dari sabut kelapa) yang ada di Maluk. Juga ada Bank Sampah Lakmus yang mengumpulkan sampah-sampah plastic untuk dijadikan barang yang lebih bermanfaat. Selanjutnya ada Community Development (Comdev) Center di Benete yang menyediakan bibit buah naga, pohon jati, mahoni dan lain-lain untuk diberikan kepada warga.
[caption id="attachment_348595" align="aligncenter" width="560" caption="Pembuatan jaring serabut kelapa"]
PT NMR membentuk 3 yayasan untuk menciptakan kemandirian masyarakat. Yayasan Minahasa Raya (YMR) yang dibentuk pada tahun 2000 untuk membantu pendidikan mahasiswa program Doktor dari berbagai universitas di dalam dan luar negeri dan beasiswa bagi pelajar SMK. Yayasan Pembangunan Berkelanjutan Sulawesi Utara (YPBSU) yang dibentuk tahun 2006 oleh Pemerintah Indonesia dan PTNMR melakukan berbagai kegiatan di bidang infrastruktur, pendidikan, kesehatan, perikanan dan menyalurkan bantuan kredit ekonomi. Dan Yayasan Ratatotok Buyat (YRB), yang semua anggotanya adalah perwakilan masyarakat setempat telah mendirikan taman bacaan, radio komunitas, dan mendistribusikan bantuan kredit mikro dan usaha ekonomi lainnya.
Penutupan tambang secara bertanggung jawab dengan memerhatikan aspek lingkungan dan sosial-ekonomi adalah hal positif yang selayaknya dilakukan oleh industri pertambangan. Inilah salah satu warisan tambang yang harus diberikan oleh perusahaan sebelum menyerahkan lahan tambang kepada masyarakat atau pemerintah setempat. Menarik tentunya, jika saya bisa berkesempatan menyaksikan secara langsung apa yang nanti akan diwariskan oleh PT NMR kepada masyarakat Buyat dan sekitarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H