sekali ia pergi tiada bertopi
ke pantai landasan matahari
dan bermimpi di tengah hari
akan negeri di jauhan
***
Matahari bulan Oktober sudah tak lagi berada di atas ubun-ubun dan kini condong ke barat, namun rasa gerah yang diakibatkannya sepertinya masih membuat sebagian orang lebih memilih berada di tempat teduh. Aku dan Lucky beranjak dari rumah inap untuk menikmati suasana sore hari. Beberapa teman dari rombongan kami terlihat masih bersitirahat di rumah inap setelah seharian menikmati eloknya pemandangan di Pahawang dan sekitarnya. Sedang beberapa teman lainnya memilih untuk menyantap kelapa muda sambil mengobrol di saung yang menghadap ke laut, di belakang rumah inap tersebut.
Indahnya Pahawang memang tak perlu diragukan. Nama Pahawang mulai dikenal di kalangan pecinta wisata bahari. Pahawang dan juga beberapa pulau lain di Teluk Lampung ini memiliki keindahan pantai dan ekosistem bawah laut. Lautnya yang dangkal membuat kita cukup melakukan snorkeling untuk menyaksikan ikan dan terumbu karang. Kunjungan saya kali ini adalah untuk yang kedua kali, setelah kunjungan pertama tahun lalu.
[caption id="attachment_332219" align="aligncenter" width="600" caption="Menjelang senja di dermaga Pahawang"][/caption]
Tak sampai lima menit dari rumah inap, kami tiba di dermaga Pahawang. Entah mengapa Sabtu sore itu tak banyak pengunjung yang berada di dermaga. Padahal suasana sore seharusnya menjadi salah satu momen yang dicari untuk menyaksikan suasana matahari tenggelam. Hal ini sebaliknya menjadi keuntungan bagi kami untuk lebih leluasa memuaskan mata melihat rona-rona indah yang menyemburat di ufuk barat.
Memasuki dermaga beton yang memanjang utara-selatan, terlihat tiga pria sedang berbincang di ujung sana. Dari pakaian yang dikenakan, bisa dipastikan bahwa mereka adalah pengunjung seperti kami yang juga sedang menunggu matahari terbenam beberapa menit ke depan. Air laut yang tenang menjadi penyambung antara dermaga Pahawang dan pulau lain di seberang sana. Beberapa keramba tersebar di depan, juga di kiri dan kanan dari tempat saya berdiri.
[caption id="attachment_332220" align="aligncenter" width="600" caption="Perahu yang tengah merapat di dermaga"]
[caption id="attachment_332221" align="aligncenter" width="600" caption="Pemukiman dan bukit di belakang sana"]
Berbalik arah, maka terlihatlah beberapa perahu yang merapat ke dermaga dan pantai Pahawang. Satu dua perahu kayu itu sedang dibersihkan oleh pemiliknya supaya siap dipergunakan kembali esok hari. Deretan rumah-rumah warga dan tempat ibadah berdiri teratur di tepi pantai. Seperti kebanyakan warga yang mendiami pulau-pulau di perairan Teluk Lampung, warga Pahawang ini menggunakan genset untuk menyalakan listrik. Waktu menikmati listrik pun dibatasi, jam 6 sore sampai 6 pagi. Sebuah bukit yang masih rapat dengan pepohonan hijau ada di belakang pemukiman warga. Bukit tersebut menjadi tempat evakuasi jika sewaktu-waktu terjadi bencana tsunami, karena memang letak geografis Pahawang ini yang berada di jalur gempa.
[caption id="attachment_332222" align="aligncenter" width="600" caption="Bocah-bocah bertelanjang dada"]
[caption id="attachment_332223" align="aligncenter" width="600" caption="Satu... dua... loncat!!!"]
Tiga bocah bertelanjang dada sedang berdiri di bagian tengah dermaga. Sejurus kemudian ketiganya berlari menuju ujung dermaga, meloncat dan berteriak lepas sebelum menceburkan diri ke air laut yang jernih itu. Dari dalam air mereka berenang dan naik kembali ke dermaga, untuk selanjutnya mengulang kembali aksi yang telah mereka lakukan tadi beberapa kali lagi. Polah ketiganya cukup memberikan hiburan tersendiri bagi saya.
Justru di tengah keriaan trio itu, saya menjadi cemburu. Bagaimana tidak, di tengah kesederhanaannya anak-anak Pahawang ini memiliki arena bermain yang luar biasa indah. Laut yang jernih, pantai yang indah dan udara yang segar bisa dengan mudah mereka dapatkan setiap hari. Berlari di pantai, berloncatan dan berenang di laut sungguh menjadi impian yang ingin saya alami seandainya saya bisa kembali ke masa kecil. Mereka tak perlu gadget atau piranti modern apa pun seperti yang umumnya dimiliki anak-anak di perkotaan untuk bermain.
[caption id="attachment_332224" align="aligncenter" width="600" caption="Senja telah tiba"]
Saya terus menikmati apa yang tengah terjadi di dermaga sore itu. Hingga akhirnya terang di langit mulai meredup. Hingga akhirnya pesona senja tersaji begitu megah seiring matahari yang tenggelam di sisi barat Pulau Pahawang yang indah ini, seindah puisi ‘Anak Laut’ karya Asrul Sani yang begitu menyihir nurani:
sekali ia pergi tiada bertopi
ke pantai landasan matahari
dan bermimpi di tengah hari
akan negeri di jauhan.
pasir dan air seakan
bercampur awan
tiada menutup
mata dan hatinya rindu
melihat laut terbentang bitu.
“sekali aku pergi
dengan perahu
ke negeri jauhan
dan menyanyi
kekasih hati
lagu merindukan daku”
“tenggelam matahari
ufuk sana tiada nyata
bayang- bayang bergerak perlahan aku kembali kepadanya.”
sekali ia pergi tiada bertopi ke pantai landasan matahari
dan bermimpi tengah hari
akan negeri di jauhan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H