Dalam banyak budaya di Indonesia, pertemuan fisik seperti menjadi sebuah keharusan. "Mangan ora mangan, sing penting ngumpul" atau, makan atau tidak makan itu tidak jadi masalah, yang penting tetap bersama sama, hanyalah menjadi salah satu contoh betapa pentingnya pertemuan secara fisik.
Dahulu orang mesti bertemu orang lain untuk menyampaikan pesan. Semenjak teknologi suara dapat dikirimkan melalui jaringan kabel telepon, orang tidak perlu lagi bertemu untuk menyampaikan pesan.
Teknologi suara kemudian menjadi teknologi penyampai pesan tanpa kabel menggunakan frekuensi radio dan diaplikasikan dengan berbagai kegunaan pada industri yang berbeda seperti radio komunikasi, telegram dan sebagainya.
Ketika saat ini teknologi video menjadi lebih murah karena infrastruktur pendukungnya yang semakin luas, revolusi kemudian berkembang sangat pesat . Pengiriman video yang semakin lancar dalam berkomunikasi seakan mampu menghadirkan orang yang secara fisik berjauhan menjadi sangat dekat di depan kita.Â
Hal ini pun mempengaruhi pergerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain. Mobilitas orang kemudian menjadi pertanyaan guyon yang sinis," Kenapa mesti ketemu ? Gak punya Zoom ya ?".
Tiba tiba pertemuan fisik menjadi tidak berguna. Pertemuan bisa virtual, sekolah virtual, toko virtual, transaksi virtual. Â Ada dimana pertemuan fisik manusia ditempatkan?
Pergerakan manusia berkurang jauh. Lepas dari soal pandemi Covid, manusia tanpa sadar sudah masuk lebih cepat ke dalam implementasi teknologi tanpa pertemuan fisik.
Manusia tidak lagi perlu bertemu. Manusia menjadi makhluk sosial yang virtual. Â Kebutuhan akan mobil, motor, tempat pertemuan, restoran sampai dengan sekolah dipertanyakan.Â
Kalau sampai akhir 2021 kita masih tetap dalam kondisi seperti ini dan menjadi terbiasa, mungkinkah di awal 2022 kita akan masuk ke dalam budaya baru terkait mobilitas manusia ini ?
Hubungan produktivitas dan mobilitas
Saat ini kita terpaksa mengurangi mobilitas karena Covid. Produktivitas pun berkurang. Tapi setahun dari sekarang, kita sudah tahu kita bisa hidup tanpa keluar rumah.Â
Produktivitas ternyata bisa tetap tinggi walaupun dengan mobilitas keluar rumah yang minimal.Â
Banyak pekerjaan yang bersifat koordinasi, jasa konsultasi, training, bisa dilakukan dari rumah. Banyak kantor pusat perusahaan tidak perlu ruang kantor lagi. Ruang perkantoran kehilangan konteksnya.
Efek sampingnya, banyak karyawan tidak perlu mobil lagi untuk ke kantor. Macet berkurang. Tidak ada yang terlambat dan berdesakan di angkutan umum dan kereta api.Â
Apakah semua pekerjaan tidak perlu kantor? Tidak juga. Kalau pekerjaan itu terkait erat dengan barang atau produk fisik, Â mungkin bisa jadi berbeda.Â
Misalnya pekerjaan yang terkait desain kemasan, desain baju, rasa makanan, atau testing minuman. Pada satu titik proses, kita mesti memegang, melihat langsung dan merasakan langsung product tersebut. Perlu ada pertemuan fisik untuk itu. Perlu pergerakan manusia secara fisik untuk pekerjaan itu.
Pekerjaan sebagai Distributor, warehousing, retailer dan rantai logistik yang lainnya juga sangat perlu pertemuan fisik. Demikian pula dengan Industri sumber daya alam seperti perminyakan dan pertambangan yang juga perlu mobilitas orang yang tinggi.Â
Jadi mobilitas manusia sepertinya tidak seluruhnya bisa berkurang.Â
Hanya,  saat ini manusia memiliki alternatif untuk berhubungan tanpa harus berpindah tempat.  Manusia  memiliki kemudahan dalam bentuk teknologi telekomunikasi yang lebih terjangkau.Â
Bagaimana dengan faktor budaya yang membutuhkan mobilitas orang ?Â
Hari Raya Lebaran, Hari Raya Imlek, Natal dan Tahun Baru, semuanya sangat mungkin dilakukan tanpa adanya mobilitas orang secara massal. Itu terbukti  di tahun ini. Lebaran virtual banyak dilakukan dimana mana karena terkendala pandemi.
Tapi kalau Pandemi sudah berakhir, apakah semua orang menjadi terbiasa untuk tidak pulang kampung saat hari raya nya tiba ? Menarik untuk dicermati bila saat itu tiba.
Dugaan saya, kebiasaan yang sudah berlangsung bertahun tahun, tentu tidak akan begitu saja hilang hanya dalam tempo setahun dua tahun karena masalah pandemi.
Bahkan bisa saja, Hari Raya Lebaran tahun 2022 akan menjadi Hari Raya dengan mobilitas massa terbesar yang pernah ada karena pandemi  sudah sangat berkurang, dan ada kerinduan besar untuk membalas hutang tidak pulang kampung selama beberapa tahun sebelumnya akibat pandemi.
Pada dasarnya, mobilitas orang karena pekerjaan atau budaya, sangat bisa disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Pandemi ini mengajarkan kelenturan itu pada manusia tanpa kehilangan inti dari pekerjaan yang dilakukan dan budaya yang dianut.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H