Tulisan mengenai kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) sudah diulas di banyak tempat. Bahkan Kompas tahun 2017 pernah khusus menulis 5 halaman dalam tema khusus terkait dengan kecerdasan buatan ini.
Saya menjadi tertarik dengan tema ini ketika majalah Kontan seminggu lalu merilis artikel terkait penggunaan AI dalam penulisan berita.Â
Di artikel tersebut disampaikan Kantor Berita Reuters sudah memanfaatkan AI sebagai kontributor artikel yang mengolah data dari seluruh dunia dan kemudian mengkonversikan data yang terkait menjadi sebuah tulisan artikel.Â
Ketika terjadi gempa di Jepang beberapa saat lalu, data terkait gempa saling terkumpul dan dengan algoritma yang telah disusun, dapat membentuk sebuah tulisan dengan logika yang runut dan penuh data.Â
Tulisan tersaji hanya sekian menit setelah gempa berlangsung. Reuters menjadi yang pertama di dunia mengabarkan berita ini.
Kalau dikatakan bahwa AI adalah otak saja dan tidak terkait dengan perasaan, saat ini sudah ada AI yang dapat merasakan perasaan manusia dan merespon dengan baik.Â
Seperti "Ellie" yang digunakan untuk terapi para tentara yang menderita trauma akibat perang, atau "Brain Power's Smart Glasses" yang digunakan anak autis untuk dapat memahami lebih baik kondisi emosi dan kendala sosial yang mereka hadapi.
AI memang ciptaan manusia. Salah satu dari sekian banyak ciptaan yang merubah arah dunia. Sama dengan ciptaan manusia lainnya ketika pertama kali muncul, saat ini keberadaan AI banyak menimbulkan harapan sekaligus kecemasan.Â
Kenapa begitu?
Karena kecepatan perkembangan AI didorong oleh AI itu sendiri. Seperti ada perputaran yang bergerak maju ke depan dengan laju kecepatan eksponensial.Â
AI distimulus manusia dengan menggunakan AI, muncul AI lain yang lebih canggih, distimulus lagi. Semakin cepat, semakin cepat, semakin cepat.