Mohon tunggu...
Daniel Keynes
Daniel Keynes Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Aegroto dum anima est, spes est

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kondisi Pluralisme Hukum di Masyarakat Aceh

13 Maret 2022   20:15 Diperbarui: 13 Maret 2022   20:17 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wilayah aceh memiliki berbagai pluralisme hukum diantaranya terdapat Qanun dan hukum adat Aceh. Qanun merupakan semacam peraturan yang berlaku di Aceh dan berada di bawah undang-undang dalam tata urutan perundang-undangan Indonesia dengan diberikannya hak otonom kepada Aceh. 

Maka dengan posisinya di bawah undang-undang, Qanun tidak boleh bertentangan dengan undang-undang nasional. Hukum adat Aceh merupakan hukum yang terbentuk dari hasil interaksi masyarakat di Aceh yang diatur oleh lembaga-lembaga Aceh.

Aceh memberlakukan Qanun yang tidak dengan peraturan perundang-undangan. Proses pembentukan Qanun diawali dengan perencanaan, teknik penyusunan, perumusan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan Qanun. 

Proses pembentukkan Qanun diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun. 

Pemberlakuan Qanun berlandaskan atas hukum nasional Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 

Maka dalam hal ini hukum nasional memberikan hak otonom kepada Aceh untuk mengatur wilayahnya dengan peraturan yang berlaku dalam hal ini adalah Qanun terjadi prose pemberian mandat. Qanun berlaku sesuai dengan asas lex specialis derogat legi generalis. (Anshari, 2005: 92-94)

Qanun memuat peraturan mengenai syari'at Islam. Aceh diberikan kebebasan dalam menggunakan Qanun sesuai yang diatur dalam Pasal 241 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam hal ini keberlakuan Qanun Aceh dapat memuat sanksi yang berbeda dengan hukum nasional. 

Seperti dalam upaya menegakkan Qanun Jinayat yang diatur dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat, terdapat berbagai tingkatan sosialisasi keberlakuan Qanun Jinayat yang berawal dari media-media komunikasi dalam masyarakat. 

Tingkatan selanjutnya yaitu melakukan razia seperti: razia jilbab, razia minuman keras, melakukan penangkapan terhadap masyarakat yang tidak berpakaian secara islami bagi pemeluknya. 

Bagi masyarakat yang tidak menganut agama Islam dapat melakukan penundukan secara sukarela terhadap keberlakuan Qanun sesuai dengan Pasal 129 ayat (1) UU Pemerintahan Aceh serta Pasal 5 huruf C Qanun Jinayat. 

Terdapat 4 jenis penundukan sukarela yaitu: penundukan untuk seluruhnya, penundukan untuk sebagian, penundukan untuk perbuatan hukum tertentu, dan penundukan dianggap.(Gautama, 1933: 33)

Hukum adat juga diberlakukan di Aceh yang diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat. 

Pada Pasal 6 Perda Provinsi Daerah Aceh Nomor 7 Tahun 2000  Lembaga-lembaga adat yang berada di Aceh antara lain: Imum Mukim,  Keuchik, uha Peuet, Tuha Lapan, Imum Meunasah, Keujruen Blang, Panglima Laot, Peutua Seneubok, HariaPeuka, dan Syahbanda. Lembaga ini tidak dapat terpisah dari masyarakat dan peraturan perundang-undangan karena berperan juga dalam menyelesaikan masalah yang terjadi dalam masyarakat. 

Dalam Pasal 98 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa fungsi dari lembaga adat yaitu: sebagai wahana untuk masyarakat dalam berpartisipasi dalam pemerintahan Aceh dan pemerintahan Kabupaten Kota di bidang ketertiban dan keamanan dalam masyarakat juga menangani masalah sosial secara adat.

Lembaga adat diberi kewenangan dalam membuat kebijakan dalam menjalankan Syari'at Islam dan menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam masyarakat seperti: pembagian wilayah air di sawah, bertanggung jawab atas pemeliharaan tali air keujruen blang, menjaga ketertiban dalam menangkap ikan, pembagian kerja antar nelayan dalam satu kapal.perahu, pembagian wilayah tangkapan, membuat peraturan di pelabuhan dan penjualan ikan oleh panglima laot.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun