Sekitar satu bulan ke belakang, di sela kesibukan akademis dan berbagai kegiatan lainnya, saya menyempatkan diri membaca buku "Yogya Masa Datang: Impian-impian Wartawan Sepuh". Buku ini diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebenarnya, keinginan untuk membuat ulasan sudah terbersit sejak lama. Namun apa daya, nampaknya semesta baru menghendaki saya untuk menulis ulasan ini sekarang.
Saya dipinjamkan buku ini dari Mbak Joanna, rekan saya di Duta Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta. Berawal dari unggahan cerita di Instagram yang menunjukkan beberapa buku yang dimilikinya, saya tertarik dengan salah satu kepingan yang memunculkan kata "wartawan". Maklum, saya memang bergelut di bidang ini. Kalau dalam bahasa kini, ter-triggered (maaf campur kode hehe).
Saya pun bertanya, apakah buku tersebut dapat saya pinjam? Seperti sudah direstui semesta, ia pun memperkenankan saya untuk meminjamnya. Maka selepas latihan persiapan malam final, ia memberikan buku itu kepada saya. Kondisinya masih terbungkus plastik kala itu, membuat saya agak kikuk. Namun Mbak Joanna meyakinkan saya bahwa hal tersebut tidak jadi soal, asal saya mengembalikannya tepat waktu hahaha (habis ini ya Mbak tak kembalikan).
Kembali ke topik, buku ini ditulis oleh para wartawan sepuh yang tergabung dalam Paguyuban Wartawan Sepuh (PWS) Yogyakarta. Oka Kusumayudha, Ketua PWS Yogyakarta, dalam pengantarnya menjelaskan bahwa PWS adalah paguyuban sosial berbasis kekeluargaan, spontan, dan bersifat manasuka untuk menghimpun dan  mempererat persaudaraan pada saat intensitas kerja sebagai jurnalis yang terinstitusi dalam lembaga pers tidak lagi formal terhubung.
Meski telah "sepuh", mereka tak ingin hanya duduk diam di masa senja. Diskusi kebangsaan rutin digelar tiap bulan. Pada tahun 2017, PWS juga sempat menerbitkan buku berjudul, "Yang Hilang dari Yogya". Sementara buku ini dimaksudkan sebagai cara PWS memaknai lingkungan hidupnya, lingkungan sosial, lingkungan kultural, dan lingkungan politik kebudayaannya.
Bagi saya pribadi, buku ini amat menarik karena menggabungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Para wartawan sepuh bisa dibilang adalah insan dari masa lalu, ditulis pada masa kini, dan berisi harapan seputar masa depan. Berangkat dari hal tersebut, impian para wartawan sepuh ini menjadi punya ciri tersendiri. Semcam impian futuristik yang masih kental dengan aroma tradisional.
Ada 34 impian yang terdapat di buku ini. Satu hal yang banyak disinggung adalah posisi Yogyakarta sebagai Kota Budaya. Adi Heru Sutomo, Imam Anshori Saleh, Ki Juru Bangunjiwa, Maria Kadarsih, Mukhijab, dan Suthirman Eka Ardhana menjadikan posisi ini sebagai tolok ukur utama tulisan mereka.Â
Ada satu benang merah yang jelas bahwa posisi Yogya sebagai Kota Budaya dapat terus terjaga di tengah gempuran budaya asing yang hadir di era globalisasi. Harapan inilah yang disandarkan pada pundak generasi muda Yogyakarta.
Wisata juga menjadi topik yang kerap disinggung. Ahmad Syaifi misalnya, mengimpikan Yogyakarta memiliki health tourism. Yogyakarta memiliki potensi wisata jamu yang dapat terus dikembangkan. Selain itu, perlu adanya layanan kesehatan terintegrasi berskala internasional. Hal ini dirasa penting untuk menunjang kenyamanan wisatawan, terutama yang berasal dari mancanegara.
Sebagai warga Yogyakarta yang lahir di tahun 2000-an, saya juga belajar banyak mengenai kondisi Yogyakarta di masa lalu. Yogyakarta yang banyak didominasi pesepeda, Yogyakarta yang rindang, Yogyakarta yang sangat ramah terhadap anak kost lewat semangat kekeluargaan, dan lain sebagainya.