Pandemi hadir tepat di akhir tahun pertama saya di Teras Pers. Panik? Pasti. Bingung? Jelas. Rasanya tidak hanya kami, tetapi satu Indonesia bahkan dunia geger gedhen kala itu.
Kekagetan ini menyebabkan produksi konten menjadi tidak maksimal. Komunikasi berubah drastis menjadi daring secara penuh. Liputan ditangguhkan.
Kondisi yang ternyata berlangsung lama ini akhirnya merembet ke tahun kedua saya di Teras Pers. Kala itu, saya dipercaya oleh teman-teman menjadi Pimpinan Redaksi. Masa ini menjadi suatu pengalaman yang melelahkan tapi berharga.
Di satu sisi, ada satu kebanggan tersendiri bagi saya dengan menjadi Pimred. Ia adalah jabatan tertinggi dalam suatu organisasi pers. Namun, seperti kata Uncle Ben, "great power comes with great responsibility". Â Ditambah, memimpin di masa transisi selalu menyimpan tantangannya sendiri.
Bersyukur, saya dikelilingi oleh orang-orang hebat. Waktu itu, kami berlima merevolusi total Teras Pers.
Perkembangan digital yang amat pesat membuat kami mau tidak mau harus membawa Teras juga ke ranah digital. Sebelum ini, Teras hanya membuat produk cetak dan minim produk digital. Kami mengubah itu dan menjadikan semua produk Teras berbasis digital.
Caranya dengan, pertama, mengaktifkan media sosial Teras Pers, dalam hal ini Instagram. Kami rutin membuat konten agar lebih banyak pembaca yang datang dan mengenal Teras. Kedua, kami membuat situs web yang belum pernah ada sebelumnya dalam sejarah Teras Pers. Ini keputusan yang nekat karena kami tidak punya sumber daya manusia yang secara khusus paham mengenai teknis pengelolaan web. "Yang penting ada dulu," pikir kami waktu itu.
Sederet perubahan ini membawa dampak yang signifikan. Banyak pembaca baik dari UAJY maupun LPM lain yang datang dan mengenal Teras Pers. Kami juga banyak menjalin relasi dengan mereka. Para dosen juga lebih memperhatikan Teras Pers daripada sebelumnya. Semua ini adalah hasil kerja keras kami dan kenekatan untuk mencoba hal yang belum pernah ada sebelumnya.