Siapa di sini yang pernah membaca Mojok? Saya yakin pasti rekan-rekan pembaca setidaknya pernah sekali membaca artikel dari media satu ini. Berbekal slogan "Sedikit Nakal Banyak Akal", saat ini Mojok menjelma menjadi salah satu media alternatif yang cukup diminati masyarakat Indonesia.
Bagaimana tidak, Mojok memilki ciri khas yang jarang dimiliki oleh media lain di Indonesia. Kalau biasanya media di Indonesia berkutat dengan berita teraktual atau liputan mendalam, Mojok memilih untuk tidak bermain di area itu. Saya pernah mengikuti dua seminar yang dihadiri oleh pembicara dari Mojok. Seminar pertama dihadiri oleh Ahmad Khadafi selaku Redaktur Mojok dan seminar kedua dihadiri oleh Dony Iswara selaku Tim Kreatif Mojok. Dari penjelasan mereka, saya jadi mengerti alasan dan cerita bagaimana Mojok menjadi media seperti saat ini.
Seperti yang kita tahu, Mojok sangat lekat dengan gaya penulisan satire di tiap artikelnya. Menurut mereka, gaya satire ini dipilih agar para penulis bisa bebas mengkritik tanpa perlu takut terjerat Undang-Undang. Hal ini dikarenakan kritik yang dilontarkan tidak secara eksplisit, tetapi implisit. Secara sekilas, kita melihatnya sebagai sebuah bentuk pujian. Namun jika dicermati lagi, hal itu ternyata adalah sindiran. Kalau dalam bahasa Jawa disebut nglulu.Â
Kehadiran Mojok ini merupakan suatu bentuk culture jamming. Culture jamming merupakan salah satu pemikiran dari postmodernisme. Sebelum masuk lebih jauh, mari kita berkenalan terlebih dahulu dengan postmodernisme.
Mengenal Postmodernisme
Postmodernisme merupakan suatu bentuk kritik terhadap modernisme. Maka dari itu, kiranya penting bagi kita untuk mengerti terlebih dahulu apa itu modernisme. Konsep mengenai hal ini secara umum berkaitan dengan periode sejarah negara-negara Barat pada abad ke-18 sampai sekarang. Borgmann dalam Retnawati (2016), menjelaskan bahwa modernisasi mecakup ide-ide filosofis dan sosiokultural yang terlihat dalam kondisi-kondisi seperti menjamurnya pemikiran rasional, penekanan pada ilmu pengetahuan, realisme dan keseragaman tujuan, munculnya kapitalisme industrial, dan lain sebagainya.
Postmodernisme memiliki ide lain.Â
Arias dalam Retnawati (2016) mengatakan bahwa inti dari postmodernisme adalah adanya ide-ide dari budaya, estetika, naratif, model, simbol, dan kebebasan berekspresi dalam melakukan 'meaning'. Postmodernisme tidak hanya memandang manusia sebagai sebuah subjek yang dapat berpikir secara kognitif, tetapi juga mempertimbangkan estetika dan signifikansi budaya dalam kehidupan kontemporer.
Bisa dibilang, inti dari postmodernisme adalah fokusnya pada 'meaning'. Bagaimana kita memahami apa yang sebenarnya terjadi dan mengembangkan ide-ide melalui induksi. Postmodernisme sangat menghargai keberagaman sudut pandang dan ide. Salah satu hasilnya adalah dengan munculnya culture jamming.Â
Culture Jamming, Sebuah Perlawanan
Culture jamming juga merupakan suatu bentuk perlawanan, sama seperti postmodernisme.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!