Bedanya, jika postmodernisme mengkritik modernisme, yang dikritik oleh culture jamming adalah budaya populer. Bagi mereka, budaya populer merampok individualitas dari pemikiran seseorang karena menciptakan keseragaman dalam benak masyarakat (Fowles dalam Putri, 2011).
Culture jamming pada awalnya merupakan bentuk perlawanan terhadap periklanan mainstream yang ada di Amerika dan Eropa. Mereka menggaungkan semangat anti-konsumtivisme dan anti-korporat. Perlawanan ini mereka wujudkan dengan membuat suatu karya seni yang menghancurkan pesan yang ada dalam iklan tersebut.
Awalnya, media yang digunakan dalam menyebarkan pesan adalah billboard. Seiring dengan perkembangan zaman, culture jamming turut berkembang dari sisi media dan konsep. Kini, kita bisa menemukan bentuk-bentuk culture jamming di televisi, surat kabar, hingga website. Selain itu, kontennya juga tidak harus mengkritisi barang konsumer, tetapi kini telah merambah ke banyak hal, misalnya citra para politisi atau lembaga negara.
Mari kita kembali ke Mojok. Mojok adalah sebuah media perlawanan dari media mainstream yang cenderung seragam di Indonesia. Keseragaman ini utamanya terlihat dari jenis tulisan yang ditawarkan. Akan menjadi panjang jika kemudian kita hubungkan dengan konsep mengenai konglomerasi media. Namun, hal itu tidak akan kita bahas di tulisan ini.
Menariknya, perlawanan yang diberikan Mojok tidak hanya dari jenis konten, tetapi sekaligus isi dari kontennya itu sendiri. Seperti yang sudah saya singgung di awal, Mojok penuh dengan konten bernada satire. Contohnya seperti pada artikel berjudul "Saran untuk HMI Agar Punya Skill Baku Pukul Lebih Estetis dan Bernilai Tinggi" dan "Mengapresiasi Kericuhan yang Terjadi pada Kongres HMI". Kedua artikel ini merupakan sindiran atas peristiwa ricuhnya Kongres Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang berlangsung di Gedung Isamic Center, Surabaya.
Mojok dalam hal ini juga menerapkan prinsip dari postmodernisme, yakni menghargai kebebasan berekspresi dalam melakukan 'meaning'. Meaning dalam konteks ini bisa berarti dua hal, bagaimana penulis memahami peristiwa tersebut dan bagaimana pembaca memahami artikel yang dibuat. Dalam kasus kedua, menarik untuk melihat bahwa masih banyak pembaca yang 'kegocek' dengan artikel-artikel yang dibuat oleh Mojok. Nampaknya, masyarakat Indonesia memang belum terlalu terbiasa dengan tulisan satire.
Dari segi media, Mojok sudah melakukan culture jamming menggunakan media baru, dalam hal ini adalah website dan media sosial. Hal yang dikritik pun bermacam-macam, mulai dari artis, politisi, pengusaha, musisi, dan masih banyak lagi. Mojok merupakan contoh ideal penerapan culture jamming tingkat lanjut di Indonesia.
Jika tertarik, kamu bisa membaca artikel-artikel mereka di sini. Semoga, Mojok selalu konsisten dengan gaya penulisan satire nyang memberikan angin segar bagi diversifikasi media di Indonesia.
Salam hangat
Referensi