Saya adalah orang asli Jogja yang suka berlibur. Ya, meskipun hanya di seputaran Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) saja. Ketika sedang tidak ada tugas kuliah yang segunung banyaknya atau tugas event, biasanya saat weekend saya selalu menyempatkan diri untuk berlibur. Kebiasaan ini mulai saya lakukan sejak SMA hingga kuliah sekarang.
Namun, belakangan ini saya mulai merasa malas untuk mengunjungi tempat wisata di DIY. Bukan karena terlalu sering, bukan pula karena sudah nyaris semua tempat saya kunjungi. Ada dua faktor yang membuat saya mulai malas untuk berlibur yang akan menjadi fokus bahasan pada tulisan kali ini. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Keseragaman Pemandangan
Faktor pertama yang membuat saya malas untuk liburan adalah keseragaman pemandangan di banyak objek wisata di DIY. Dalam satu kawasan, bisa ada lebih dari lima tempat wisata yang sejatinya pemandangan yang ditawarkan sama saja, cuma beda nama. Apa saja contohnya?
Contoh yang paling jelas adalah Kawasan Mangunan. Saya tidak tahu pasti berapa jumlah tempat wisata di daerah ini, tetapi nampaknya tiap tahun makin bertambah banyak saja. Mulai dari wisata hutan pinus seperti Hutan Pinus Pengger dan Hutan Pinus Mangunan. Lalu yang terbanyak adalah wisata spot foto yang menawarkan pemandangan lanskap Kota Jogja seperti Jurang Tembelan, Bukit Panguk Kediwung, Puncak Becici, Tebing Watu Mabur, Watu Goyang, Bukit Lintang Sewu, dan lain sebagainya. Namanya memang berbeda-beda dan unik, tetapi pemandangan yang ada sejatinya sama saja. Lha wong satu kawasan, apa yang mau diharapkan?
Contoh lain yang juga populer adalah warung makan dengan suasana persawahan di Kulon Progo. Di sana ada Geblek Pari, Kopi Ampirono, dan Kopi Ingkar Janji yang menawarkan view serupa. Di Bantul, ada deretan pantai dengan kekhasan pohon cemaranya seperti Pantai Kuwaru, Pantai Cemara Sewu, dan Pantai Baru yang isi dalamnya persis sama.
Keseragaman ini membuat saya lama-lama bosan. Dulu, waktu masih semangat-semangatnya berlibur, saya bisa berkunjung ke 2-3 objek wisata dalam satu kawasan. Meskipun view-nya sama, tetapi yang penting dapat foto bagus. Sekarang, mau ke satu objek saja sudah malas terlebih dahulu. Kemalasan ini semakin menjadi-jadi ketika saya melihat bahwa tempat untuk berfoto saat ini terlalu "dibuat-buat".
Spot Foto yang "Njengkeli"
Permasalahan mengenai spot foto ini menjadi faktor kedua kemalasan saya untuk berlibur. Ini mungkin akan sangat subjektif, mengingat saya adalah penganut aliran foto "naturalis". Jadi, intinya saya suka berfoto yang potret alamnya tampak jelas, tidak terhalang apapun.
Nah, masalahnya adalah tempat wisata di DIY banyak yang latah menyikapi tentang spot foto ini. Kita ambil contoh yang paling gampang saja. Dulu, spot foto berbentuk love itu sangat viral dan menghiasi berbagai lini media sosial. Para pengelola tempat wisata lalu berlomba-lomba memasang spot foto berbentuk love di tempat wisata mereka. Awalnya sih saya biasa saja, tetapi lama-lama risih juga. Pemandangan alam ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa tertutupi oleh spot love dengan warna yang amat ngejreng. Nggriseni cuk!
Lebih parahnya lagi, selain nggriseni atau bikin risih, spot foto ini kini mulai dikomersialisasikan. Mau foto di sana harus bayar dulu, padahal view yang bagus ya memang di sana. Jadi kita mau tidak mau harus bayar. Bahkan, mulai banyak tempat wisata hanya mengandalkan keberadaan spot foto ini. Teras Kaca Pantai Nguluran contohnya.  Di sana, tiap spot foto memiliki tarif yang lumayan mahal untuk kantong mahasiswa seperti saya.