Sebagai seorang mahasiswa semester satu dengan semangat yang masih menggebu-gebu, saya ingat betul gairah yang saya rasakan di akhir tahun 2019 yang lalu. Bagaimana untuk pertama kalinya saya mencicipi rasanya menjadi mahasiswa dengan segala tetek bengeknya, mulai dari tugas dan pembelajaran yang berbeda, pergaulan yang berbeda, dan pemikiran yang berbeda pula.Â
Waktu itu saya begitu bersemangat menyambut tahun 2020. Â Saya sudah merencanakan berbagai kegiatan, organisasi, dan lomba-lomba yang ingin saya ikuti, khas maba sekali.
Saya membayangkan 2020 akan menjadi tahun yang sibuk, penuh dengan kegiatan perkuliahan dan pengembangan diri yang sudah saya jadwalkan tadi. "Makin sibuk makin oye," pikir saya saat itu. Pada bulan-bulan awal nampaknya rencana ini akan berjalan sebagaimana seharusnya. Kegiatan yang sudah saya planning berjalan dengan baik; kuliah lancar, organisasi lancar, event lancar, duit juga Puji Tuhan lancar, pokoknya adem ayem saja suasana saat itu.
Lalu pada bulan Maret, bak petir menyambar di siang bolong, ada kabar yang menyatakan Covid-19 telah menginfeksi dua warga Indonesia. Sontak satu kampus menjadi heboh.Â
Saya ingat betul, waktu itu saya sedang di kafe bersama teman-teman divisi saya di suatu organisasi untuk membahas mengenai progres ke depan. Tiba-tiba, grup kelas saya ramai oleh pengumuman resmi dari kampus bahwa mulai besok kuliah akan diadakan secara daring dan segala kegiatan kemahasiswaan dibatalkan.
Kondisi ini berarti dua hal. Pertama, dalam konteks kuliah, tidak akan ada lagi pertemuan tatap muka dengan teman dan dosen. Fasilitas kampus hanya tinggal kenangan. Tidak akan ada lagi serunya kerja kelompok di lantai atas perpustakaan. Kedua, dalam konteks kegiatan kemahasiswaan, semua rencana yang sudah kami susun seolah menguap begitu saja. Ada acara yang batal padahal besok tinggal penutupan, ada yang berubah konsep, ada yang benar-benar batal total tak bersisa. Kecewa? Pasti. Hati ini rasanya remuk redam saat itu.
Namun, nasi sudah menjadi bubur. Daripada keburu dingin, mending ditambah kecap dan sambal sekalian biar lebih nikmat. Saya sadar bahwa tidak hanya saya yang mengalami kondisi demikian. Cuitan-cuitan di Twitter dan komentar di postingan Instagram menyadarkan saya bahwa kondisi ini juga terjadi di banyak kampus.
"Lha nek wes ngene njuk aku kudu piye?" pikir saya saat itu. Jujur, awalnya saya tak punya gambaran apa yang harus saya lakukan. Masalahnya, dari mulai Playgroup sampai kuliah awal tidak pernah saya merasakan pembelajaran daring yang semasif ini. Di tengah kestresan massal saat itu, saya coba saja menjalani kegiatan yang saya pahami; membaca buku, melihat Youtube, dan menulis.
Ternyata, tiga hal ini punya pengaruh besar atas perkembangan saya selama pandemi ini. Dengan membaca buku, setidaknya saya tidak gabut-gabut amat. Saya adalah tipe orang yang paling tidak bisa kalau gabut, pokoknya harus ada yang dikerjakan apapun itu. Dengan membaca buku, setidaknya gabut saya produktif dan sekaligus meningkatkan kemampuan kognitif.
Dari melihat Youtube, saya belajar banyak hal yang betul-betul baru, terutama tentang investasi. Sebelum pandemi, saya sama sekali tidak pernah melirik tentang investasi. Uang saja pas-pasan mana sempat memikirkan investasi. Awal ketertarikan saya dengan investasi bermula dari Twitter.Â
Waktu itu, akun resmi salah satu platform investasi mengiklankan produknya di kolom komentar. Katanya, ini investasi yang sangat cocok bagi pemula dengan resiko yang rendah. Saya pun kemudian melihat satu istilah baru, reksadana. Karena penasaran, saya pun mencari tahu lebih lanjut. Singkat cerita, saya kemudian tertarik untuk bergabung.